Hotel berbintang tertinggi secara formal dan diakui oleh lembaga sertifikasi usaha (LSU) adalah hotel berbintang 5 (lima).
Proses mendapatkan bintang 5, pertama kali diajukan pemilik hotel kepada LSU. Apakah hotel tersebut dibangun sesuai standar ketentuan sertifikasi atau menyimpang.
Dengan melakukan survey dan pemeriksaan detail, tim penilai dari lembaga ini akan menentukan bintang.
Contoh dari produk hotel misalnya ketebalan kaca, besarnya kolam renang, luas kamar, dan lain-lain.
Pak Joko, pebisnis hotel, merasa tidak puas dengan hanya mendapat bintang 5. Dibangunlah hotel yang lebih mentereng, luks, mewah.
Ia memilih lampu kristal berharga ratusan juta rupiah ketimbang lampu produk lokal. Meja resepsionis dibuat dari marmer statuario seharga Rp 4 juta per meter persegi, bukan bahan lain.
Termasuk melengkapi konditioner ketimbang shampo two in one. Memilih baju mandi berbulu lembut dan halus daripada bahan kasar.
Semua itu dapat dijadikan alasan pemilik hotel dalam meraih bintang.
Ketika hotel dibuka, publik akan menilai kualitas produk hotel. Mereka akan mengundang pelancong berprofesi jurnalis, awak media, youtuber, blogger.
Mereka secara tak langsung menyematkan hotel mewah yang melebihi standar bintang 5. Asalkan produk, fasilitas serta pelayanan lebih dari sekadar memuaskan tamu.
Maka munculah perbedaan kriteria. Contohnya hotel Burj Al Arab di Dubai, disebut hotel satu-satunya berbintang 7 di dunia. Namun traveler kelas dunia mencatat bahwa ada 6 hotel berbintang 7.
Perbedaan sudut pandang ini, disebabkan kriteria penilaian hotel berbintang 6, 7 secara global, tidak ditentukan dan diakui secara formal.
Penilaian disematkan oleh para jurnalis travel kelas dunia, awak media diikuti para tamu.