Ada beberapa hotel butik di Bandung zaman dulu, yang hanya memiliki 50 kamar serta outlet spa. Dari luar bangunan tampak unik, memancing mata setiap pejalan kaki, menjadi lirikan setiap pengendara mobil.
Belakangan, hotel butik melakukan inovasi produk yang tidak hanya menekankan pada kemewahan saja. Bahkan kadang jauh dari kesan mewah yang kita bayangkan.
Sekilas dipandang dari luar, kondisi bangunan hotel dan fasilitas kamar tampak biasa saja, namun tonjolan keunikan akan nyata terlihat saat berada di dalam hotel.
Adakalanya fasilitas serta perabot tidak semahal yang kita kira. Karena cermat terhadap keperluan itu, banyak pemilik hotel memilih sendiri barang-barang yang akan dipajang di hotelnya termasuk alat makan piring, sendok, dan gelas.
Bahkan tidak jarang sang pemilik membeli langsung barang-barang itu ke negeri sebrang. Tujuannya kepuasan.
"Pokoknya harus unik!" ujar Pak Matias, sang pemilik hotel butik.
Betapa pencinta hotel butik sangat memperhatikan setiap detail sudut area dan ruang.
Pak Matias menggandeng arsitek lokal yang berkelas terhadap seni budaya. Kontraktor dan pengembang kelas wahid yang telah berpengalaman dalam bidang ini.
Siapakah yang dapat menonjolkan seni budaya Indonesia jika bukan arsitek anak bangsa?
Hotel butik harus memiliki perbedaan menonjol dari hotel tetangga. Di Penang ada hotel berasitek perahu, kamar hotel dikelilingi akuarium atau bangunan terbuat dari kayu berkualitas.
Akhir-akhir ini batasan hotel butik dan hotel kelas menengah (midscale) seakan bias. Tipe hotel bisnis banyak yang menyamai hotel butik. Mungkin pula karena julukan "butik" terkesan mahal. Untuk apa menyandang nama butik tapi tiada pembeli?
Kata Reina sepupuku, hotel yang ditempatinya bagai hotel butik. Nyatanya hotel itu bertipe hotel bisnis. Bangunannya setengah hotel bisnis, setengah resort. Pembedanya dekorasi gorden, kursi-kursi lebih berseni.