Bagiku, media sosial sangat penting. Banyak manfaat positif yang saya amati dan alami selama ini.
Di Instagram, saya penuhi dengan foto-foto kolega sebagai kenangan dan wujud prestasi. Bukankah ini layaknya deretan album pribadi?
Mereka, kolegaku sepanjang zaman. Maka dari itu nama sebaiknya sinkron, agar mudah dikenali. Bukan @sicantikjelita, @yayangmu, @lambehitam, dll.
Apa yang saya unggah di media sosial?
Sembilan puluh lima persen untuk urusan pekerjaan. Saya dapat mengontak mantan bos, klien di luar negri, mantan staf yang puluhan tahun berpisah. Mengetahui kabar terbaru dimana ladang mereka kini. Ya, senang saja.
Adapun hal-hal pribadi seperti saling mengucapkan ulang tahun kepada keluarga, ucapan prestasi kedua anak, diunggah sebagai pengingat serta wujud apresiasi terhadap mereka.
Namun ada pengalaman getir. Suatu ketika, seseorang memperkenalkan diri melalui pesan di Linkedin. Saya gemetar mendengar ucapannya.
Apa yang salah dari perbuatanku, pikirku. Ia berang, tersinggung karena konten tulisanku.
Seseorang yang saya hormati dan hargai di dunia maya, seketika menjadi lawan. Ah, tak salah bunda mengandung! Ada saja pikiran negatifnya.
Sejak saat itu, saya berhati-hati dalam menulis. Hal demikian menjadi bahan koreksi. Ya, suatu pelajaran baru.
Jadi, apakah saya sama versi media sosial dengan di balik layar? Sama saja. Toh saya bukan artis populer yang harus dipantau oleh khalayak ramai.
Apabila tidak sinkron, lain di media sosial, lain di dunia nyata, bersiaplah. Anda menuai apa yang ditabur (ingat kisah Oma Roselina Tjiptadinata).