Mohon tunggu...
Cecep Gaos
Cecep Gaos Mohon Tunggu... Guru - Guru pecinta literasi

Guru Kota Padi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Berprestasi Guru Kurangajar

23 Februari 2016   04:50 Diperbarui: 29 Maret 2017   00:00 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Guru sebagai sosok penting dalam dunia pendidikan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehadirannya di tengah-tengah peserta didik di kelas sangat menentukan perkembangan kompetensi mereka, baik kompetensi sikap, pengetahuan, maupun keterampilan. Selain sebagai pengajar (teacher) dan pendidik (educator), guru juga bisa menjadi penginspirasi (inspirer), orangtua (parent), bahkan menjadi teman (friend) bagi peserta didiknya. Dengan kata lain, bagi mereka, guru adalah sosok yang paling tepat untuk dijadikan sebagai tuntunan, panutan, dan rekanan. Dalam bahasa leadership ada ajaran Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.

Untuk mengapresiasi guru-guru yang luar biasa, Kemendikbud telah memasukkan ajang pemilihan Guru Berprestasi ke dalam agenda tahunannya yang dilaksanakan dari tingkat kecamatan sampai tingkat nasional. Lalu seperti apa Guru Berprestasi itu? Kriteria-kriteria apa yang harus dipenuhi seseorang sehingga pantas disematkan label kepadanya sebagai guru berprestasi. Biarlah pertanyaan-pertanyaan ini dijawab dan dirumuskan oleh para pakar yang mempunyai kapabilitas dan kapasitas dalam hal itu. Tulisan ini hanya mencoba memotret guru berprestasi dari perspektif lain.

Tidak bisa dipungkiri seringkali Guru Berprestasi adalah guru yang kurangajar (baca: jam mengajarnya di kelas berkurang). Hal ini dikarenakan sering mendapat tugas untuk mengikuti kegiatan-kegiatan untuk updating dan upgrading skill-nya yang dilaksanakan di luar sekolah, yang seringkali waktunya bertepatan atau berbenturan dengan waktu kewajibannya mengajar. Disamping itu, saking besarnya rasa tanggung jawab yang dimiliki serta untuk meningkatkan kompetensinya, mereka memiliki keinginan yang kuat untuk senantiasa mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut.

Apakah hal ini salah? Atau benar? Tentu jawabannya adalah tidak sepenuhnya salah, tidak juga sepenuhnya benar. Hal ini berpulang kepada sang guru berprestasi tersebut apakah mampu mendiseminasi (mengimbaskan kepada guru lain) dan mengaplikasikan hal-hal yang diperolehnya dari kegiatan-kegiatan peningkatan kompetensi tersebut dalam rangka meningkatkan prestasi siswa dan kualitas pendidikan, serta memberikan manfaat terhadap masyarakat sebagai user pendidikan. Atau malah vice versa?

Di sisi lain, ada pandangan beberapa guru yang hanya ingin menjadi guru yang tugasnya mengajar saja. Mereka tidak ingin meninggalkan kelasnya (baca: meninggalkan kewajiban mengajar) untuk mengikuti kegiatan peningkatan kompetensi. Mereka merasa bahwa mengajar anak-anaknya di kelas lebih baik dari pada meninggalkannya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Apakah boleh? Apakah pandangan ini dibenarkan? Tentu jawabannya sah-sah saja alias boleh-boleh saja. Tetapi harus diingat bahwa guru bukanlah semata seorang teacher (pengajar), tetapi juga seorang learner (pembelajar). Ini artinya bahwa seorang guru haruslah senantiasa belajar dan meng-upgrade informasi dan kemampuannya sehingga mempunyai bekal yang cukup, atau malahan banyak, untuk “menghadapi” murid-muridnya di kelas, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman. Selain itu, seperti sudah mafhum bahwa belajar bukan hanya berlaku untuk seseorang yang berprofesi sebagai guru, tetapi juga berlaku untuk semua orang. Bukankah ada sebuah hadis yang berbunyi “Uthlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi”? Tuntutlah ilmu dari semenjak buaian sampai liang lahat. Atau di dalam istilah populernya disebut Long Life Education. Yang pada akhirnya akan menjadi Long Life Learner atau pembelajar sepanjang hayat.

Misal ambil saja sebuah analogi. Dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya, seorang ibu atau ayah yang hanya ingin menjadi ibu atau ayah apa adanya yang membesarkan anak-anaknya dengan hanya mengandalkan ilmu parenting seadanya yang sudah mereka miliki tanpa mau mencari informasi ter-update dan meng-upgrade ilmunya tentang bagaimana membesarkan anak-anaknya dengan baik. Apa yang akan terjadi dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya tersebut?

Lalu bagaimana pula dengan pandangan-pandangan miring atau pendapat-pendapat nyinyir terhadap sang guru berprestasi yang katanya suka meninggalkan kelasnya dengan alasan inilah itulah? Seolah-olah sang guru tersebut tidak punya tanggung jawab terhadap peserta didiknya di kelas. Lagi-lagi ada sebuah analogi yang barangkali tepat dan sedikit banyak bisa memberikan gambaran. Seorang yang sudah disematkan sebagai penyelam menyelam ke dalam lautan dengan berbekal oksigen yang dimiliki yang menurut sang penyelam tersebut sudah cukup persediaannya. Lalu dia menyelam ke dalam lautan dengan begitu pede-nya. Dia merasa oksigen yang dimilikinya sudah cukup, tidak perlu lagi berenang ke atas untuk mengisi oksigen tersebut. Padahal semakin lama, semakin ke dalam, semakin banyak pula tantangan yang dihadapi di dalam lautan, dan oksigen pun berkurang. Begitulah barangkali, sama halnya dengan seorang guru. Mereka tidak cukup hanya mengandalkan ilmu yang sudah dimilikinya, sementara dari waktu ke waktu, zaman terus menunjukkan perubahannya. Sehingga ilmu pengetahuan didaktik metodik yang dimiliki oleh seorang guru harus senantiasa di-upgrade dan di-adjust dengan perkembangan zaman.  

Kegiatan-kegiatan peningkatan wawasan dan kompetensi guru sangat mutlak perlu dilakukan. Disamping sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas guru, hal ini juga sebagai wahana kontemplasi dan refleksi untuk perbaikan pembelajaran ke depan. Yang harus menjadi perhatian dan PR untuk para stakeholders, adalah bagaimana mengatur jadwal kegiatan-kegiatan yang dimaksud supaya tidak berbenturan dengan jam mengajar. Disamping itu, kepala sekolah sebagai top leader di sekolah, harus arip dan bijak serta cermat apabila di sekolah yang dipimpinnya terjadi hal-hal seperti ini.

Pun demikian bagi guru yang diberi amanah untuk meng-update informasi dan meng-upgrade skills serta menyerap segala perubahan yang terjadi di dunia pendidikan ini seyogyanya harus memiliki tanggungjawab yang besar dalam mengemban amanahnya. Serta ingat bahwa anak-anak di kelas merindukan kehadiran anda.

Beberapa bulan lagi kita akan berada di penghujung tahun ajaran. Ini artinya akan semakin banyak kegiatan-kegiatan yang sudah mulai dan akan diselenggarakan oleh para stake holders, kemendikbud misalnya, untuk menghadapi tahun ajaran baru. Sebagai contoh Kurikulum 2013 yang diterapkan secara bertahap, tentu saja tahun depan, dalam prosentase yang sudah ditetapkan, harus diterapkan di sekolah-sekolah non-kurtilas. Dalam hal ini, kemendikbud tentu saja memerlukan guru-guru berprestasi (baca: luar biasa) untuk bisa mengimbaskan program-programnya kepada sekolah-sekolah yang dimaksud, melalui bintek, bimtek, pelatihan, workshop, seminar, dan lain sebagainya. Hal ini perlu disikapi dan “diwaspadai” jadwal atau waktu pelaksanaannya. Para guru berprestasi berhati-hatilah! Anda bisa semakin menjadi guru kurangajar. :) 

Penulis: Cecep Gaos, S.Pd. Guru SDS Puri Artha Karawang

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun