Mohon tunggu...
Ratna Yusmika Dewi
Ratna Yusmika Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Mom learner & Momprenuer

Menulis menghempas lelah, senyum merekah menikmati hidup penuh berkah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perundungan dan Keberuntungan di Dunia Kerja

10 September 2021   22:10 Diperbarui: 10 September 2021   22:29 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kata perundungan dan membaca arti perundungan itu, membuka memori sebuah peristiwa kurang enak yang setiap orang pernah alami. Begitu halnya dengan yang pernah saya alami, empat belas tahun lalu di dunia kerja. Dahulu, siapapun setelah mendapat gelar Sarjana bahagianya luar biasa, bergerak mencari pengalaman kerja dengan bekal ijazah yang dibawa. Dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang diharapkan.

Predikat Sarjana dan lampiran nilai yang menunjukkan angka angka IPK, tidak membawa dampak yang istimewa bagi sesorang yang fresh graduate. Bukan sebuah rahasia umum jika melamar di sebuah perusahaan besar, dan menginginkan posisi di sebuah kantor dituntut mempunyai pengalaman kerja. Hal ini yang membuat beberapa fresh graduate ciut nyalinya melamar tanpa ada yang merekomendasikan. Biasanya mencari lowongan pekerjaan dari kerabat, sahabat dengan catatan di tuntut bisa apapun itu pekerjaannya, inilah disebut memulai diri mendapat pengalaman kerja. Dimana ijazah lulusannya apa, belum tentu bekerja sesuai dengan gelarnya dan ini sudah biasa.

Tahun 2006 setelah dua bulan wisuda dari sebuah Fakultas Pendidikan Bahasa Inggis, saya memberanikan diri bekerja di sebuah perusahaan export dan import furniture di Sidoarjo. Setelah berusaha melamar di berbagai sekolah untuk menjadi guru honorer dan belum ada kuota yang kosong. Di terima kerja jauh dari sebuah ekpetasi dan ilmu yang saya dalami selama kuliah, yaitu sebagai trainee di bagian Customer Service divisi Marketing. Namun, membuat saya sedikit lega, minimal ilmu bahasa asing yang saya miliki mampu diaplikasikan disini baik aktif maupun pasif.

Seorang fresh graduate yang tidak mempunyai pengalaman di dunia perkantoran, tentunya saya memposisikan diri sebagai seorang pembelajar. Namun disisi lain, beberapa staf disana mengganggap bahwa seseorang yang mempunyai gelar Sarjana itu mampu dan mahir dalam segalanya. Tantangan dimulai dari sini, saya tipe seorang pemerhati situasi dan supel dalam bergaul. Saya belajar dengan siapapun di kantor, sadar diri gelar sarjana bukanlah segalanya. Ketrampilan minim dan sedikit ilmu yang ada korelasi dengna bidang baru di kantr perusahaan ini. Berbekal percaya diri dan interaksi intens dengan semua staff di kantor ini.

Perundungan dimulai sejak saya masuk hari pertama di perusahaan ini. Ada sambutan hangat dan ada pula sambutan yang mulai menyengat. Satu kantor dengan seorang senior di sebuah perusahaan membuat saya harus lebih aktif bertanya. Faktanya berkata lain respon hangat tidak saya dapatkan, bahkan cemoohan terang terangan dia lakukan di depan orang. Dengan dalih, saya seorang sarjana yang tidak pecus kerja. Dia katakan ke beberapa staff lain juga, memebrikan judgment sala tidak layak bekerja disini.

Saya menerima dengan lapang dada, dan menjadi penyemangat untuk melakukan semua dan membuktikan lolos sebagai trainee beberapa bulan keedepan. Tak pernah saya mencari tahu alasan dia begitu membenci saya, yang seharusnya sebagai senior memberikan contoh terbaik dan arahan kepada staff baru seperti saya ini. Saya berfikir mugkin hanya hanya sebuah strata sosial, kalau saya pegawai rendahan, sedang dia seorang senior accounting.

Seminggu kemudian, saya di dampingi seorang senior marketing dan custumer service dari kantor perusahan anak cabang yang masih satu lokasi dengan perusahaan tempat saya bekerja. Saya berharap perempuan yang baru saja di panggil seorang ibu kala itu, mampu mentrasfer ilmu dengan baik. Beberapa waktu kemudian, sikapnya berubah padahal saya belum mengenal baik dia bahkan sebaliknya.

Setiap pertanyaan yang saya sampaikan, karena rasa ingin tahu saya, dia menjawab dengan wajah masam dan nada yang tidak enak. Kala itu saya dan kakak senior marketing tersebut satu ruangan kantor dengan senior accounting. Sikap saya yang biasa, diam hanya bertanya tanya ada apa ini? Dengan siapa saya bertanya? Semua teman disana adalah teman baru yang saya kenal, maka saya tetap berinteraksi apa adanya. Tak pernah berkeluh kesah dengan siapapun.

Hal yang membuat saya sempat ingin berhenti, rasa lelah berjuang saat baru bekerja beberapa minggu disana adalah, perundungan demi perundungan terus berulang. Kala itu, sebuah tantangan dari atasan saya mengerjakan tugas dokumen ke administrasian dan pengiriman barang. Mulai dari membuat penawaran, pro-forma invoice dan juga laporan pengiriman denga dateline hanya satu jam dan di saat injuri time akan pulang. Kalau mengingatnya, serasa berperan di sebuah film drama India saja.

Kata kata pedas saya dengar dari senior accounting tersebut melalui telepon, entah dia berbicara dengan siapa “Anak baru ini lembur sampai malam, dia nggak akan pulang sebelum selesai mengerjakan tugas dari pak Boss” dengan bahasa dan logat Surabaya. Padahal beberapa menit lagi tugas ini akan selesai nggak bakalan lah sampai nginep disana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun