Mohon tunggu...
Lintang
Lintang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang Kompasianer yang masih belajar menulis. Gemar jalan-jalan, membaca, makan enak dan nonton film. Penghindar konflik tapi kalau harus berhadapan juga akan diselesaikan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. 😜 Suka dengan kutipan berikut ini karena masih berjuang melawan diri sendiri yang kebanyakan impian. ☺ "The most excellent jihad (struggle) is that for the conquest of self.” ~ prophet Muhammad

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Obrolan "Bunda Pintar" Mengenai Internet Sehat dan Aman

2 Oktober 2012   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:21 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349193013553500937

[caption id="attachment_209381" align="aligncenter" width="691" caption="Kika : Mbak Aulia, saya, ibu Djuleha, mbak Mira dan mbak Hany"][/caption]

Sebelum bercerita tentang obrolan mengenai "Internet Sehat dan Aman", saya mau cerita tentang bagaimana saya bisa nyasar di kumpulan pendekar yang jurus andalannya hanya kepedulianini

Saya sering membaca tulisan mas Valentino karena sering nangkring di Headline Kompasiana dan paling senang membaca tulisannya yang mengingatkan para netter tentang sisi lain kemajuan teknologi ketika memanfaatkannya.

Dalam kesempatan lain, saya juga sesekali melihat kelompok cengengesan berinteraksi di media sosial ini yang menurut saya akrab, hangat dan lucu. Meskipun kebanyakan didominasi Kompasianer perempuan namun mas Valentino sebagai salah satu penggagas yang kebetulan Kompasianer laki-laki mampu mengenali karakter hampir semua anggota grup yang umumnya memang suka cengengesan ini. Saya hanya memantau tapi tidak pernah punya nyali untuk bergabung karena meskipun saya suka cengengesan juga tapi saya tidak memiliki kemampuan yang baik dalam membina hubungan pertemanan yang intensif seperti yang terlihat dalam interaksi grup ini.

Silent reader adalah kata yang tepat untuk saya ketika saya membaca tulisan-tulisan maupun komentar-komentar mereka. Baru sebatas itu saja saya mengenal cengengesan.

Hingga suatu saat mata saya terpaku ketika melihat sebuah page yang dihubungkan oleh sebuah tulisan, page yang dibuat di media sosial Facebook itu berjudul “Gerakan orangtua peduli internet sehat”. Pandangan saya mulai berubah terhadap grup cengengesan yang awalnya saya kira kumpulan biasa saja dalam pergaulan.

Grup ini ternyata serius meneruskan wacana untuk melindungi anak-anak dari dampak negatif dalam berinternet. Tanpa berpikir panjang saya langsung menyatakan dukungan dengan meng-klik “like” sehingga bisa mengikuti apa saja yang dibicarakan dalam komunitas ini untuk mengisi wawasan saya dalam pengasuhan anak. Di sini saya melihat mbak Deasy berperan aktif dalam pembentukan page ini dan selanjutnya mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan advokasi internet sehat ini menjadi anggota grup baru bernama IDKita.

Lagi-lagi saya hanya mampu mengikuti sepak terjang IDKita dari kejauhan karena keterbatasan kemampuan saya untuk mengelola waktu ketika saya masih bekerja dulu. Jangkauan mereka ternyata tidak hanya di Kompasiana saja tapi juga merambah ke dunia nyata. Mereka yang menyebut diri relawan IDKita ini bahkan sudah menjangkau dua kementerian yang berhubungan langsung dengan kegiatan advokasi internet sehat ini yaitu Kementerian Telekomunikasi dan Informatika juga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Keheranan atas kegigihan mereka membuat saya penasaran ingin tahu bagaimana mereka bisa membagi waktu antara pekerjaan, kehidupan pribadi dan kegiatan sosial yang tidak mendapat keuntungan apa pun selain kepuasan jiwa ini. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika diajak kopdar dengan mas Valentino dan mbak Aulia Gurdi awal September lalu di sebuah café di sebuah mal.

Dalam pertemuan ringan itu, tidak dapat dihitung berapa kali saya menggelengkan kepala karena tidak percaya dengan pengalaman-pengalaman mereka di lapangan yang unik ketika berbagi wawasan dengan para orangtua, guru dan murid dari beberapa sekolah yang bersedia memberi kesempatan kepada relawan IDKita untuk “menjual” kepeduliannya.

Saya semakin tercengang ketika mendengar cerita mereka tentang relawan-relawan lain di berbagai tempat yang mau memberikan waktu, tenaga dan pengetahuan yang dimiliki kepada lingkungan sekitarnya terutama kepada para orangtua, baik dalam kesempatan formal maupun informal seperti arisan, kopdar bahkan perjalanan pulang kerja dalam bis karyawan.

Antusiasme mereka membuat saya malu dan bertanya mengapa saya tidak membuka diri terhadap hal positif yang bermanfaat seperti ini? Apalagi saya sudah memutuskan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga dengan meninggalkan pekerjaan kantoran sejak bulan lalu.

Grup IDKita ini adalah grup terbuka bagi siapa pun yang perduli untuk mencegah kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh dampak negatif dari kemajuan teknologi terhadap anak-anak. Meskipun sifatnya sukarela namun sebagai sebuah organisasi, grup ini tentu saja memiliki tujuan juga persyaratan yang jelas untuk anggotanya.

Saya masih belum berani mengambil keputusan ketika diajak untuk berbagi pengalaman dalam sebuah acara talk show di Radio Edukasi yang berada dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan minggu lalu. Namun akhirnya dengan memberanikan diri, saya menyatakan kesediaan dua hari yang lalu dan pagi tadi saya sudah berada di Pustekom Kemendikbud sebagai salah satu narasumber dalam program talk show tersebut.

Wah cerita sebelum obrolan saja sudah sedemikian panjang gimana obrolannya ya?

Talk show ini adalah semacam acara edukasi yang segmentasi pemirsanya adalah para ibu sehingga dinamakan program acara “Bunda Pintar”, sifatnya harian dan biasanya dimulai jam 10:30 dan berakhir jam 11:30. Saya sudah tiba di sana dua jam sebelum acara dimulai karena mempertimbangkan kemacetan Ciputat yang terkenal itu.

Setiba di sana karena masih pagi, saya memilih untuk jalan-jalan ke pasar Ciputat yang tidak jauh dari sana. Dasar emak-emak, saya menyempatkan diri melihat daftar kebutuhan prioritas yang harus dibeli di dompet saya dan hey, saya langsung menemukan barang yang saya cari dengan harga hampir setengah dari harga pasar swalayan di sebuah toko peralatan rumah tangga dan langsung membelinya. Berhubung barang yang saya beli cukup besar, maka saya titipkan di pos satpam ketika saya kembali ke Pustekom.

Senang rasanya ketika mengetahui mbak Mira, relawan lainnya yang akan menjadi narasumber juga sudah tiba. Ibu muda dari seorang anak perempuan yang usianya sama dengan anak perempuan saya ini semangatnya sungguh luar biasa! Dia menempuh perjalanan dari Cilegon sejak jam 5 pagi dan tidak terlihat lelah sedikit pun bahkan sebaliknya, keceriaannya terasa menular pagi tadi.

Tidak berapa lama mbak Aulia datang dan kami bertiga langsung berdiskusi dengan mbak Hany, penyiar radio yang akan memandu kami selama siaran untuk persiapan.

Kami bertiga sempat mengalami demam panggung karena khawatir suara kami kurang menunjang sehingga pesan tidak diterima dengan baik oleh pemirsa. Salah satu operator radio yang bernama mas Charlie membesarkan hati kami bahwa tidak perlu suara bagus ketika siaran karena suara bagus itu diperlukan oleh penyanyi sementara untuk siaran yang diperlukan adalah suara baik. Dia memberikan memberikan perbandingan suara Rosa penyanyi sebagai suara bagus dan suara Desta penyiar sebagai suara baik. Kebingungan kami bertiga untuk suara baik itu langsung dijawab oleh mbak Hany, menurutnya suara baik adalah suara yang diolah. Pengertian saya, mungkin dengan kecanggihan peralatan siaran, suara dapat diolah sedemikian rupa sehingga dapat diterima dengan baik oleh pemirsa. Entah lah namun yang pasti rasa tidak percaya diri saya karena tidak memiliki suara sebagus Vina Panduwinata langsung hilang setelah dijelaskan itu.

Sesi pertama diisi dengan pengenalan gadget (bahasa Indonesia : gawai) secara umum, melihat mbak Aulia yang menjawab pertanyaan mbak Hany dengan santai, saya merasa lebih nyaman. Di sesi ini juga ditanyakan sebenarnya pemenuhan gadget itu untuk kebutuhan atau gaya hidup? Di sini kami satu per satu berbagi mengapa kami memperkenalkan gadget kepada anak-anak. Lalu kami juga mencoba membedakan kapan gadget itu menjadi kebutuhan dan kapan merupakan gaya hidup saja.

Sesi kedua dibahas mengenai dampak positif gadget. Pada sesi ini, kami bertiga sudah merasa seperti ngobrol biasa, tidak di depan radio karena kasus-kasus yang kami kemukakan saling berhubungan sehingga kami bisa saling melengkapi. Termasuk games yang sebenarnya bisa dijadikan media untuk memudahkan pembelajaran anak.

Sesi ketiga memasuki tema yang perlu mendapat penekanan karena disini dikutip beberapa hasil riset bagaimana pengaruh gadget pada anak seperti kurangnya keterampilan berbicara, kerusakan struktur otak bagian depan, melemahnya kemampuan motorik dan emosi yang rentan terhadap stres, penurunan kemampuan berkosentrasi, rendahnya kemampuan menganalisa masalah, malas menulis dan membaca dan terakhir adalah kemampuan bersosialisasi yang minim. Kami juga menyoroti pornografi yang kecanduannya lebih parah daripada kecanduan kokain juga games yang dapat membuat anak-anak terbawa tanpa sadar untuk membenci agama tertentu yang dimunculkan dalam simbol-simbol (dalam beberapa games tertentu), menghalalkan kekerasan, merasa diri paling benar, mengabaikan kewajiban dan anti sosial.

Sesi keempat lebih banyak diisi dengan rangkuman hasil diskusi dan memberikan tips seperti diperlukan kesepakatan dengan anak sebelum memberikan gadget antara lain, berapa lama, dimana dan kapan boleh menggunakan gadget termasuk konsekuensi yang harus ditanggung anak jika tidak bisa memenuhi kesepakatan. Tips lainnya dalah pemasangan aplikasi parenting control dan yang paling penting adalah pendampingan orangtua yang intensif ketika anak mulai menggunakan gadget.

Sebelum pulang kami dijamu makan siang dan berkesempatan berbincang-bincang dengan penyiar senior lainnya yang ternyata adalah sutradara film ACI (Aku Cinta Indonesia), ibu Siti Djulaeha. Dulu di masanya film ini sangat dinanti-nantikan kemunculannya di TV seminggu sekali.

Setiba di rumah, saya mendapat kiriman cuplikan rekaman suara saya.Saya sempat terpesona mendengarnya sebelum tersadar itu suara penyanyi hahahaaaa…. Ternyata sebagian obrolan tadi ada yang tenggelam oleh musik yang seharusnya menjadi musik latar belakang.

Sungguh suatu pengalaman yang menarik buat saya ketika berbicara sebagai relawan IDKita -Kompasiana. Senang sekali rasanya karena saya bisa melakukan sesuatu walaupun mungkin kecil. Semoga kegiatan selanjutnya untuk kampanye internet sehat ini akan selalu lebih baik dari sebelumnya.

Lintang, ibu dua anak yang ingin memanfaatkan teknologi dengan bijak.

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun