Cukup banyak film yang ceritanya diadaptasi dari buku best seller yang telah lebih dahulu terbit. Film hasil adaptasi memiliki tantangan tersendiri bagi sutradara dan penulis naskah yang menggarapnya. Karena mau tidak mau, penonton akan membandingkannya dengan versi cerita aslinya di dalam buku. Apalagi bila buku yang diadaptasi merupakan best seller. Tentunya telah banyak orang yang membacanya dan menyukai jalan ceritanya.
Saya dan para kutu buku lainnya yang dasarnya memang lebih menyukai baca buku ketimbang nonton film, pasti telah memiliki ekspektasi sendiri. Bila visual dan gaya penceritaan hasil adaptasi tersebut tidak seperti yang diharapkan, pastinya penonton akan kecewa.
Namun sebaliknya, apabila ternyata sutradara dan penulis naskah mampu memvisualkan jalan cerita dengan sangat baik, bahkan melebihi ekspektasi pembaca bukunya, maka bukan tidak mungkin penggemar akan lebih menyukai versi filmnya daripada bukunya.
Saya mempunyai beberapa daftar film Indonesia yang diadaptasi dari buku yang sudah pernah saya baca sebelumnya. Bila mau dibandingkan, versi mana yang lebih saya sukai, ternyata hasilnya berbeda-beda.
Ada yang filmnya jauh di bawah ekspektasi saya saat membaca bukunya. Ada yang sama kerennya, karena dua-duanya punya daya tarik tersendiri. Namun ada pula yang ternyata versi filmnya jauh lebih berkesan karena adanya tambahan visualisasi, musik, dan akting para pemain yang melebihi ekspektasi.
1. Laskar Pelangi
Kesuksesan itulah yang kemudian buku ini diadaptasi ke dalam film layar lebar berjudul sama pada tahun 2008. Film Laskar Pelangi diproduksi oleh Miles Films dan Mizan Production, dan digarap oleh sutradara Riri Riza. Agar lebih masuk ke dalam cerita, syuting pun dilakukan di Pulau Belitung yang memang merupakan latar asli cerita. Para pemeran utama yang merupakan sekelompok anak SD juga merupakan anak-anak asli Belitung. Film ini pun sukses besar dan ditonton oleh lebih dari 4,7 juta penonton, dan masuk menjadi salah satu film Indonesia terlaris sepanjang masa.
Lalu bagaimana jika kita membandingkan versi buku dan film adaptasinya? Walaupun kedua-duanya meraih kesuksesan, tapi bagi saya pribadi, ternyata jauh lebih menyukai versi filmnya daripada bukunya. Ini suatu hal yang jarang, mengingat saya orang yang lebih suka membaca daripada nonton.Â
Tapi untuk film yang satu ini, visual yang ditampilkan benar-benar melebihi ekspektasi saya saat membaca bukunya. Akting para pemainnya pun luar biasa. Sehingga walaupun sudah berkali-kali nonton, saya pasti menangis tiap kali adegan si anak jenius Lintang terpaksa putus sekolah. Dan itu tidak terjadi saat saya membaca bukunya.
2. Perahu Kertas
Karena mungkin ceritanya adalah kisah cinta anak kuliahan yang relate dengan pengalaman banyak orang. Novel ini terbit pada 2009 dan kemudian diangkat ke layar lebar pada 2012. Filmnya sendiri disutradarai oleh sutradara terkenal Hanung Bramantyo dan memasang Maudy Ayunda sebagai pemeran utama.
Untuk yang satu ini, saya menyukai keduanya. Baik versi bukunya maupun filmnya. Saya sangat menikmati gaya bercerita Dee di buku ini. Demikian pula saat menonton filmnya. Visual lokasi yang ditampilkan, serta soundtrack yang sangat easy listening (lagunya karya Dee juga), memberikan pengalaman yang berbeda dengan saat membaca bukunya. Tapi dua-duanya saya suka, sehingga saya membaca dan menontonnya berulang-ulang.
3. The Naked Traveler
Pengalaman-pengalaman lucunya saat traveling ke berbagai tempat diceritakan dengan apik. Membuat kita seolah-olah ikut bepergian juga. Tapi memang yang membuat ceritanya asik buat dibaca adalah karena merupakan potongan-potongan cerita pendek mirip diary yang dibukukan. Karena memang awalnya semua tulisan itu berasal dari blog si penulis.
Versi film adaptasinya akhirnya juga dirilis pada 2017 lalu dengan sutradara Rizal Mantovani, dan lagi-lagi pemeran utamanya adalah Maudy Ayunda. Jujur untuk yang satu ini saya jauh lebih menyukai versi bukunya. Dari awal memang saya sudah meragukan versi filmnya akan bisa semenarik aslinya.Â
Karena akan sangat sulit untuk merangkum dan mengambil secuplik saja dari sekian banyak kisah pendek yang ada di dalam bukunya untuk diangkat ke dalam film yang berdurasi sekitar 1,5 jam saja. Versi buku yang bergaya komedi juga lebih menarik ketimbang versi filmya yang lebih sentimentil.
4. Cintapuccino
Walaupun saya senang sekali dengan lagunya, namun untuk perbandingan novel vs filmnya, saya lebih menyukai versi novelnya. Bukan berarti filmnya jelek, tapi menurut saya pemilihan pemeran untuk tokoh-tokoh di filmnya terasa kurang pas alias tidak seperti bayangan saya saat membaca bukunya.
5. Kambing Jantan
Saya ingat dulu saat pertama kali membacanya (nyewa di rental buku), saya ketawa guling-guling sampai dikira gila oleh teman sekost waktu itu. Bagi saya, yang membuat buku itu menarik adalah gaya bercerita dan pemilihan kata yang digunakan oleh Radit yang memang konyolnya keterlaluan.
Karena itu sama seperti The Naked Traveler, saya juga sudah menduga bahwa film adaptasinya tidak akan semenarik versi bukunya. Benar saja, saat menonton filmnya yang tayang pada 2009, dan memasang Radit sendiri sebagai pemeran utama, saya sama sekali tidak tertawa. Bahkan cenderung bosan dan garing.
Mengadaptasi sebuah buku best seller menjadi film layar lebar memang tidak mudah. Walaupun banyak yang sukses, namun tidak sedikit pula yang hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Tapi kembali lagi, semuanya terserah pemirsa.