Mohon tunggu...
Muh. Tahir A
Muh. Tahir A Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pencari Makna Hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Karena Guruku, Saya Jadi Bodoh

29 April 2012   13:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1335707037145191033

[caption id="attachment_174356" align="aligncenter" width="640" caption="Saat wisuda"][/caption] Dalam sebuah penelitian bahwa sekiranya anak kecil membawa kebiasaannya semenjak kecil yang selalu bertanya segala macam pertanyaan yang terkadang tidak kita sadari bahwa itu sangat baik untuk perkembangan kecerdasan, kreatifitas anak buat masa depannya dan meningkatkan nilai jualnya maka rata-rata akan menjadi ilmuwan pada bidang-bidang tertentu, namun yang terjadi setalah memasuki dunia yang baru yang kita sebut sekolah, anak-anak kemudian diperkenalkan dengan dunia yang sangat menakutkan yang dibimbing oleh seorang guru, dosen. Lepas dari Sekolah Dasar, mereka melanjutkan ke SMP, MTs apa yang di alami di SD pun sama yang di alami di SMP, MTs hari demi hari anak didik itu semakin terbiasa dalam penjara kreatifitas, kecerdasan. Tamat di SMP, MTs mereka melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu SMA, MA selama tiga tahun lagi, apa yang diterima tidak jauh beda waktu di SD, SMP dengan di SMA, MA. Mereka didik dengan sistem yang dianggap baik oleh para pendidik dengan alasan "Demi Kebaikan Mereka". Melanjutkan Studi yang lebih tinggi lagi yaitu masuk di Universitas ternama bukan karena kualitasnya tetapi karena gengsinya, yang lebih parah lagi banyak yang melanjutkan studinya dan mengambil jurusan tertentu yang sebenarnya mereka cocok di jurusan itu. Kenapa begitu? Karena sejak awal anak didik tidak pernah atau kurang diperkenalkan kepada mereka untuk mengenal hoby dan potensinya di mana sehingga ketika lulus yang terjadi "bingung terhadap hasil pendidikan mereka". Ada satu hal yang sangat perlu direnungkan oleh para pendidik. Berdasarkan dari beberapa pengamatan penulis ternyata begitu banyak seorang guru, dosen yang membangun rasa ketakutan kepada anak didiknya dengan cara para pendidik tidak boleh dihubungi oleh anak didiknya kecuali dia yang menghubungi. Kita tidak tahu apakah para pendidik itu bahwa cara itu adalah cara yang benar, tepat bagi anak didiknya. Terlebih lagi, kritikan anak didiknya dianggap sebagai pembangkangan bagi dirinya, apa yang terjadi? anak didik diajar untuk mendengar saja tanpa harus mengkritik karena ucapannya adalah sabda bagi mereka. Sebuah buku pernah memaparkan bahwa pendidikan selama ini tidak pernah menghargai otak anak didiknya kecuali dengan kata, kalimat "otak udang" "bodoh". Jadi, satu kesimpulannya semakin tinggi jenjang pendidikan anak didik semakin diajarkan untuk tidak mengenal potensi dirinya, semakin diajarkan untuk tidak menghargai dirinya sebab sistem pendidikan di Indonesia memakin sistem hukum bagi yang melakukan kesalahan tanpa harus diajarkan cara yang benar melakukan sesuatu, sementara pendidikan di luar negeri (menurut kabar dan memang begitu kok) sistem pendidikan mereka adalah bagaimana mengajarkan kepada anak didik untuk menghargai karyanya sendiri sehingga anak itu menjadi tahu potensi dirinya dan menghargai karya sendiri. Tulisan ini lebih didasarkan pada kenyataan dan pengamatan penulis pribadi dan hanya melihat sisi negatifnya aja karena untuk melihat sisi positifnya masih begitu sedikit walaupun ada. @Warkop Cappo: Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun