Atok Lomlom-ku, Ayah dari Mamakku, wafat ketika aku kelas dua SD. Jadi aku cukup banyak mengingat beliau dibandingkan kenangan tentang Atok Sendengku, Ibu dari Mamakku, yang wafat ketika aku belum genap 2 tahun.
Salah satu kenangan tentang Atok Lomlomku adalah tentang ikan berpenampilan tidak menarik tapi baunya sangat menggugah selera.
Beberapa kali dalam sebulan, Atok Lomlom datang malam-malam ke rumah kami. Itu beliau lakukan karena saat siang pasti sibuk di ladang.
Atokku berladang karet di seberang sungai Simarkaluang. Masih ingatkan? Aku pernah menceritakan sungai itu.
Karena menyadap karet dilakukan sendiri, beliau menyambi dengan memasang bubu atau jerat ikan di sungai. Seusai menyadap atau mangkurik dalam bahasa kami, diperiksalah hasil tangkapan di bubu ikan itu.
Biasanya Atok mendapatkan ikan gabus.
Ikannya besar-besar. Ada sebesar lengan orang dewasa. Oleh Atok, ikan itu disiangi, dibelah dan dibersihkan di sungai. Setelahnya, dibuatlah api dari batang-batang kayu kering. Kayu-kayu itu dibiarkan menjadi bara hingga banyak mengeluarkan asap. Barulah ikan tadi dijerang di atas bara berasap tebal. Sebelumnya ikan dilapisi dengan daun pisang tapi bukan dibungkus.
Sambil menunggu ikan masak, Atok bisa melanjutkan kegiatannya di ladang karena memasak ikan itu butuh waktu berjam-jam. Proses pemasakan ikan didapat dari panas lewat asap tebal itu. Namanya disale.
Biasanya, Atok mengantarkan ikan itu masih dengan panggangan bambu yang dibuatnya sendiri.
Aromanyaa...hmmm...bau asaptapi enak tercium.
Melihat tampilan ikan itu, dulu aku tak suka.