Mohon tunggu...
Rainy Yusuf
Rainy Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hobby

Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku Harian dan Sehelai Daun

25 September 2020   22:16 Diperbarui: 25 September 2020   22:30 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sisa hujan masih menggerimis dari daun-daun pepohonan. Aspal jalan licin menyisakan alur-alur khas bekas roda kendaraan. Dari balik kaca helm yg mengembun, aku berusaha menerobos jarak yang mampu kutempuh untuk menggapai sisa asa yg ada. Semoga aku tidak terlambat.

"Aku tak memintamu kembali, Vika. Tapi datanglah walau hanya untuk menggenggam tanganku."
Kata-kata itu terngiang kembali seperti dengung mantra yang diucapkan berulang-ulang di telingaku. Mengapa selama ini aku begitu angkuh?

Jika waktu adalah sutera halus yang dapat dirajut seperti keinginanku, aku akan mengukir namaku dan Dio di sepanjang tautan benangnya. Dan bila ada kemampuan melipat sang waktu kembali ke masa lalu, aku akan menyimpannya dalam brankas hatiku yang paling terjaga.

Kusadari ternyata hati butuh tempat berlabuh. Selama ini aku begitu angkuh menilai hidup hanya pada angka di atas kertas. Kini hatiku benar-benar lelah. Ingin kusandarkan pada sebuah lengan kokoh yang mampu memberi rasa hangat. Membangunkan getar harapan yang mulai padam. Namun sandaran itu telah hilang.

Hari ini sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke gawaiku.
Namun kalimat yang tertera terasa mengendap lama di ingatanku. Seorang teman lama yang sama sekali tak pernah jadi kenangan. Hanya saja memang menyimpan kenangan.

Segala tentangnya hanya kuanggap sebagai angin lalu belaka. Tak ada hal penting tentang dirinya yang mesti jadi bagian dari buku harianku.
Ternyata tidak demikian baginya.

Aku adalah bintang yang selalu mengerlip dalam langit asa yang terus dipandangnya.
Bintang yang dengan angkuh tak sedikitpun melirik iba.
Bintang yang jauh dan teramat mustahil akan mau menyentuh pandangannya walau sekilas.
Namun harapannya tak pernah pudar.

Sakit yang diderita sejak lama kian menggerogoti semangat hidupnya. Harapan yang terlalu jauh untuk dijangkau membuat tubuhnya yang ringkih makin merana. Entah sudah berapa lama penyakit itu mendekam di tubuhnya.
Hingga hari ini, diujung takdir yang kian menjepit ke jurang kehampaan, dia mengirim pesan itu.

Aku tersentak dalam lamunan panjang. Deru sepeda motor yang kupacu berkejaran dengan sang maut.
Saat aku mesih berusaha melewati tikungan tajam dibawah gerimis yang menghitam, sebuah cahaya menyilaukan menyambar pupil mataku. Derit tajam ban beradu dengan aspal mengilukan pendengaran. Suara klakson bersahutan dengan teriak mengerikan. Sehelai daun meluruh dari dahan di tepi jalan.

Dari balik kaca helm yang retak aku melihat Dio mengulurkan tangan.
Rasa sakit yang mendera sekujur tubuhku seketika sirna.
Perlahan, aku menyambut uluran tangannya.
Dan kami pun melebur dalam cahaya menyilaukan.

Medan, 02 September 2020. 08.21

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun