Mohon tunggu...
Coretan Dewi Murni
Coretan Dewi Murni Mohon Tunggu... Guru - Dakwah bil hikmah

Negeri berkah dengan syariah dan khilafah

Selanjutnya

Tutup

Financial

BLT Pegawai Swasta Solusi Anak Tiri?

22 Agustus 2020   20:00 Diperbarui: 22 Agustus 2020   20:00 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gonjang-ganjing dampak buruk Covid-19 terhadap penurunan ekonomi Indonesia, pemerintah akan mengambil langkah lagi. Walau pelaksanaan solusi sebelumnya hingga saat ini masih semrawut dan berliku, pemerintah serius akan menggelontorkan anggaran Rp 33,1 triliun untuk 13,8 juta pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta. Syaratnya, terdaftar dan membayar iuran BPJS. Bantuan itu adalah subsidi dengan harapan menjaga daya beli dan kesejahteraan pekerja yang terdampak Covid-19 (sumber detik finance, 7/8/2020)

Karyawan yang memenuhi syarat, tersenyum atas kebijakan ini. Berteriak hore. Wajar memang, sebab kita semua sepakat ekonomi mencekik siapa saja. Hadirnya bantuan tersebut setidaknya melegakan sendi-sendi ekonomi yang sesak. Namun kita tidak boleh tuli bahwa di luar sana masih dahsyat sekali jeritan rakyat yang meraung-raung.

Ada pekerja harian, korban PHK, pekerja tidak terdaftar BPJS, pedagang kecil hingga honorer K2 yang mengabdi puluhan tahun tapi tidak jelas nasibnya. Bila tidak segera ditangani serius maka hadirnya BLT itu bagaikan menganaktirikan rakyat. Perhatian pemerintah yang terkesan pilih dan pilah ini berpotensi besar akan menimbulkan kecemburuan sosial, malah sudah terjadi.

Belum lagi secara efektivitas, subsidi tersebut nampaknya seperti panggang jauh dari api. Tidak tepat sasaran, atau justru disalahgunakan. Ada yang ditabung, ada pula yang digunakan untuk membeli hal-hal yang sifatnya tidak mendesak hingga foya-foya. Dilansir dari tirto.id, 9 Agustus 2020, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai BLT untuk pekerja berupah di bawah Rp 5 juta ini akan sia-sia. Ia bilang alih-alih untuk konsumsi, BLT malah akan disimpan untuk keperluan mendesak di masa depan. Ia mengatakan para pekerja ini bakal menyimpan uang karena pada dasarnya kemampuan finansial mereka masih memadai. Dengan kata lain, salah sasaran.

Kerap kali kita mendengar istilah subsidi yang mengarahkan persepsi bahwa ia adalah bantuan dari pemerintah dalam bidang ekonomi kepada rakyat menengah ke bawah. Makanya tiap kali ada opini pencabutan subsidi, protes langsung melayang kepada pemerintah. Apalagi bidang-bidang yang disubsidi (dimana pemerintah menanggung sebagian harga atau biaya) adalah yang menyangkut hajat hidup masyarakat. BBM dan listrik contohnya.

Lantas bagaimana nasib rakyat menengah ke atas atau kaya? Mereka dianggap berdaya untuk memenuhi hajat hidupnya. Bahkan dalam sistem jaminan kesehatan ada istilah gotong royong. Jadi warga negara yang mampu mensubsidi warga negara yang kurang mampu. Hal itu sebagaimana tertera di undang-undang nomor 40 tahun 2004 dan undang-undang nomor 24 tahun 2011 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pemerintah menerapkan prinsip gotong royong demi Indonesia yang lebih sehat.

Menyambung soal BLT di atas, keterlibatan sosok pemimpin sebagai pengurus urusan umat terlihat begitu setengah hati. Narasi keadilan sosial tidak terdengar indah, karena ada perbedaan sikap pemimpin antara kaya dan miskin. Belum lagi drama kezhaliman pencabutan subsidi bagi yang menengah ke bawah, katanya supaya mandiri. Tidak selalu bergantung pada bantuan pemerintah. Jika demikian untuk apa diangkat penguasa di tengah-tengah umat? Menggemaskan sekali!

Begitulah sistem kapitalisme mensetting kehidupan bernegara. Pemimpin diangkat, didudukkan di kursi kuasanya lalu berkhidmat memfasilitasi para pemilik modal. SDA dikuasai asing, lalu hasilnya dijual ke rakyat. Kalau terlalu mahal, tidak sanggup beli, subsidi datang bak pahlawan. Tapi ada syarat berlaku, bukan untuk si kaya. Hal serupa juga mewarnai bidang kesehatan.

Realitas ini sangat kontras dengan Islam dalam urusan pelayanan umat. Antara si kaya dan miskin, diposisikan sama. Tidak ada diskriminatif, keduanya diberlakukan sama. Sama-sama manusia, miliki naluri yang sama dan kebutuhan jasmani yang sama. Butuh kesehatan, pendidikan, keamanan, jaminan kesejahteraan ekonomi dan lain-lain. Maka dalam hal ini Islam tidak memakai subsidi. Semuanya ditanggung oleh penguasa, diberi gratis dan berkualitas. Serta pendistribusiannya merata kepada yang kaya dan miskin. Islam menggariskan kebutuhan diatas adalah hak rakyat dan kewajiban negara.

Apalagi di masa pandemi saat ini, pekerja, pengangguran, kaya, miskin, PNS, honorer, hampir semua terhantam dampak buruk covid 19. Sementara mereka semua punya perut yang harus diisi, pendidikan yang harus tetap berjalan dan jaminan kesehatan yang harus tetap terjaga. Oleh karenanya, menjawab problematika tersebut, pertama sejak awal sebelum terjadi pandemi Islam memang mewajibkan negara hadir sebagai pengurus urusan umat. Menjamin kesejahteraan dan memastikan terpenuhinya hajat rakyat seluruh lapisan rakyat tanpa dikomersialkan. Hal itu berlangsung terus-menerus baik saat pandemi maupun tidak. 

Kedua, boleh melakukan subsidi kepada pihak-pihak yang butuh perhatian lebih namun tanpa menzhalimi pihak yang lain. Sebagaimana Khalifah Umar bin al-Khattab pernah memberikan harta dari Baitul Mal atau kas negara kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengelola lahan pertanian mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun