Mohon tunggu...
Pak Guru
Pak Guru Mohon Tunggu... Guru, Pengembang Kurikulum, Pelatih Guru -

always improving...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan Hati #2

22 Mei 2017   08:02 Diperbarui: 22 Mei 2017   09:15 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
from: https://www.colourbox.com/image/red-heart-with-an-open-door-and-steps-isolated-on-the-white-image-3339534

Pada tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung tentang adanya pintu-pintu masuk yang dapat digunakan dalam mendidik hati seorang anak. Kali ini saya akan menjelaskan lebih lanjut pintu masuk apa saja yang paling memungkinkan dalam menolong anak untuk memiliki kehendak dalam menjalankan akal sehatnya. Penjelasan ini tidak saya tulisa secara urut, memerlukan sebuah kebijaksanaan dalam menentukan pilihan yang tepat, adakalanya memaksimalkan semua pilihan juga ada baiknya.

Dalam mendidik hati seorang anak, kita perlu memahami terlebih dahulu hakikat hati dan kehendak hati seorang anak. Semua anak lahir dengan kecenderungan hati yang egois, ia sangat mementingkan kepentingannya sendiri. Kehendak hatinya hanyalah bagaimana segala keinginannya dapat dipuaskan. Ia lahir dan dibesarkan dalam keegoisan, ia menuntut perhatian dan pemuasan atas nafsu dan keinginannya. Tanpa pendidikan dalam arti luas, kita akan melihat 'anak-anak drakula' yang siap menghisap setiap keindahan dan kebaikan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Teori yang menyatakan anak itu seumpama kertas putih polos yang siap untuk dituliskan apa saja di atasnya dapat dikatakan keliru. Seorang anak membawa suatu sifat egosentris sejak mereka lahir, adapun kebaikan hati yang muncul dalam rentang kehidupan mereka hanyalah seumpama percikan-percikan air di Gurun Sahara yang lekas menguap.

Oleh karena keberadaan sifat egosentris pada diri anak, secara naluriah, orang tua mendidik anaknya agak memiliki kebajikan dan nilai hidup yang setinggi mungkin, jauh dari kebiadaban dan ketidakberadaban. Orangtua dan lembaga pendidikan yang baik selalu menginginkan kualitas kemanusiaan terbaik dari diri seorang anak, jauh dari sifat egosentris. Di mana pun di seluruh dunia tidak ada seorang pun yang dapat menerima dengan baik seorang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Adakah Anda menerima dengan seorang dewasa yang kerap menuntut perhatian bahkan seluruh sumber daya Anda dengan besar hati? Hampir semua orang tentunya tahu bahwa ada yang salah dengan orang itu. Ia seharusnya menghargai Anda, hak-hak Anda, kepentingan Anda, harga diri Anda. Manusia yang tidak egois adalah manusia yang kita ingin didik dari anak-anak kita. Seorang penulis terkenal, C.S. Lewis menjelaskan dengan baik: 

Jika kita bertanya: 'Mengapa saya harus tidak mementingkan diri sendiri?' Dan Anda menjawab 'Karena itu baik untuk masyarakat,' kita mungkin kemudian bertanya, 'Mengapa saya harus peduli apa yang baik untuk masyarakat kecuali bila hal itu terjadi untuk menguntungkan saya secara pribadi?'  Maka Anda harus mengatakan, 'Karena Anda seharusnya tidak mementingkan diri sendiri' - yang hanya membawa kita kembali ke tempat kita memulai.

Dengan demikian dalam pendidikan hati ini, kita dapat memahami 'musuh' yang akan kita kalahkan, yaitu ego. Egoisme seorang anak yang tidak terdidik hatinya dengan baik sesungguhnya secara tidak ia sadari seperti sedang membangun tembok pertahanan yang kuat demi melindungi kepentingan dirinya. Dengan egonya, seorang anak terus menerus menuntut perhatian dan pemuasan nafsu dan keinginannya, mulai dari hal yang sepele hingga hal yang mengerikan yang dapat dibayangkan seorang dewasa. Dalam kasus yang ekstrem kita terkejut ketika melihat ada anak remaja yang membunuh orangtuanya sendiri karena keinginannya tidak terpenuhi; demikian juga dalam kasus sehari-hari di mana anak balita yang diminta menemani adiknya bermain dengan iming-iming hadiah dari orangtuanya; ada jutaan kasus lain yang jika kita mau amati baik-baik, semuanya itu didorong oleh keegoisan hatinya, walaupun seringkali dikemas dengan bungkus kebaikan atau perbuatan baik.

Jadi sekarang, bagaimana kita mendidik hati anak dan memerangi keegoisan dalam dirinya? Perlu diketahui sebelumnya, bahwa bukan berarti saat para pendidik memerangi keegoisan anak dan berhasil maka ia akan hilang selamanya, tidak! Hal yang paling jauh yang bisa dilakukan seseorang adalah hanya mengurangi atau menekan ego dan mensubtitusinya dengan kebajikan dan nilai-nilai kehidupan yang agung. Ini memang suatu fakta menyedihkan, tetapi demikianlah hakikat dari manusia. Ia selalu mencari pemuas keinginan dirinya di kedalaman hatinya, ia tidak pernah akan dipuaskan. Keinginan hati akan selalu ada, ego dengan cerdik memanfaatkan segala hal yang ada di dunia ini, bahkan termasuk agama dan orang terdekat demi pemuasan egonya. mengapa? Kembali, C.S. Lewis menjawab:

Jika saya menemukan dalam diri saya keinginan yang tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa memuaskan, satu-satunya penjelasan logis adalah bahwa saya dibuat untuk dunia lain.

Jika dunia ini tidak pernah cukup memenuhi keinginan ego, maka yang kita lakukan bukanlah mencari cara membunuh ego, karena ia melekat pada kita; tetapi 'memindahkan' hati kita ke tempat lain di mana ego tidak dapat tumbuh. Kita perlu 'keluar dari dunia ini' dan masuk ke dalam pintu hati yang telah Tuhan sediakan. Di sinilah kita dihadapkan kepada pilihan, apakah kita akan tetap di balik pintu moral dunia atau keluar dari sana dan masuk ke dalam pintu 'dunia lain', pintu moral ilahi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun