Mohon tunggu...
Humaniora

Pulang ke Tengah Keluarga

9 Oktober 2017   05:43 Diperbarui: 9 Oktober 2017   06:35 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pixabay.com

Saat Kita Jauh

Mungkin beberapa dari kita pernah mengalami hal ini. Kita begitu asyik dengan apa yang kita kerjakan, begitu berfokus pada apa yang sedang kita kejar, sebut saja karir. Atau bisnis kita. Kita menghabiskan begitu banyak waktu, pikiran, dan tenaga untuk hal tersebut. Berangkat pagi, pulang larut malam. Anak dan istri masih terlelap pada saat kita berangkat dan kembali sudah terlelap pada saat kita pulang. Satu-satunya waktu kita bersama mereka adalah pada saat kita menatap wajah-wajah pulas mereka menunggu kepulangan kita.

Kita dekat di sekitar mereka, tapi secara bersamaan juga terasa jauh. Tidak ada keakraban yang dulu pernah kita rasakan berada di tengah-tengah mereka. Semua terasa berbeda. Rupanya kita pergi sudah terlalu lama. Sampai-sampai kita merasa asing berada di tengah-tengah mereka. Pada setiap akhir pekan pun tidak lepas dari kesibukan kita yang sedang kita kejar. Sampai-sampai mereka protes kalau kita ada tapi seperti tidak ada.

Pernah merasa seperti itu? Atau mungkin sekarang sedang merasakan?

Dampak Menjauh Pada Diri Kita

Yang terjadi pada saat kita jauh dari keluarga atau apapun yang kita sayangi, kita sukai, entah itu teman, aktifitas, atau apapun, kita akan merasakan kekosongan. Seperti ada sesuatu yang hilang. Dan itu tidak enak. Semua yang kita sayang ada di depan mata, tapi kita tidak bisa kita dekap. Tidak bisa kita raih.

Kalau kita berpikir ulang, apa sih sebenarnya yang lebih penting? Ambil contoh yang paling umum, karir versus keluarga? Mana yang lebih penting?

Saya ada satu pengalaman nyata, baru terjadi akhir-akhir ini. Ada seorang direktur di perusahaan asing, saya kenal baik, dia begitu mendedikasikan waktunya untuk perusahaan yang dipimpinnya. Pulang malam, banting tulang kesana kemari untuk memajukan perusahaan tersebut.

Belakangan ini, dia terkena stroke. Dia tidak bisa bekerja dengan optimal. Sempat pulih dan bekerja kembali, tetapi di kantor dia drop lagi. Dan itu terjadi cukup lama dimana dia tidak bisa bekerja dengan baik. Mungkin sekitar 6 bulanan dia berada di kondisi tersebut. Dan terakhir kabar yang saya dengar, dia diminta untuk mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Perusahaan tidak mau lagi menanggung beban biaya berobatnya dimana di lain sisi dia tidak bisa memberikan kontribusi apapun sebagai timbal baliknya.

Kalau sudah begini, masih harus dijawabkah mana yang lebih penting antara karir dan keluarga? Keluarga tidak akan meninggalkan kita. Apapun kondisi kita. Seperti apa yang akan kita lakukan pada saat anggota keluarga yang lain sedang mengalami kondisi yang tidak menyenangkan. Sedang terkena musibah, misalnya.

I'm Back

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun