Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mampukah Label "Muslim" Menggantikan Sertifikasi Halal untuk Akselerasi Bisnis?

7 November 2017   16:02 Diperbarui: 7 November 2017   16:04 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Sumber: halalmui.org)

Pulau Bali merupakan Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang terkenal di dunia. Wisatawan baik domestik maupun mancanegara berbondong-bondong mengunjungi "The Paradise Island" untuk menikmati keindahan alam dan budaya yang bertahan hingga sekarang karena kekuatan dari kearifan lokal (local wisdom) yang ada di masyarakat. Kini, Pulau Bali bukan hanya disambangi untuk sekedar jalan-jalan tetapi merupakan ladang basah mencari rejeki. Ya, para urbaner (pendatang) yang datang dari seluruh Indonesia khususnya Jawa mengadu nasib di antara derasnya gemerlap dunia pariwisata.

Bukan hanya kios-kios seni (art shop) yang menjejali setiap sudut tempat wisata tetapi keberadaan warung kuliner atau restoran yang menyajikan berbagai menu dari Western, Chinese hingga Nusantara juga melengkapi kebutuhan para wisatawan. Setiap pengunjung bebas memilih kuliner yang diinginkan. Ada hal yang menarik saat anda berwisata kuliner di Pulau Dewata tersebut. Bagi yang beragama Islam, sepuluh tahun atau awal tahun millenium yang lalu sangatlah sulit untuk mencari tempat wisata kuliner atau warung makan yang menonjolkan kuliner halal.

Kuliner khas Bali yang terkenal dengan  Babi Guling (Suckling Pig) menghiasi di setiap sudut perkotaan atau tempat wisata merupakan kuliner idaman dan terbilang berkelas. Dan, kuliner tersebut (maaf) menurut orang yang beragama Islam adalah "haram" untuk dikonsumsi. Padahal, kuliner tersebut adalah produk khas dari orang Hindu Bali secara mayoritas yang tidak ada masalah untuk dikonsumsi. Sementara, bagi pengunjung atau wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang beragama Islam berusaha untuk menjauhi dari kuliner tersebut.

Untungnya, rasa toleransi yang besar dari masyarakat Hindu Bali menghormati pendatang yang minoritas beragama Islam. Saya mengalaminya langsung saat menghadiri perkawinan (pawiwahan) teman yang menyajikan  makanan halal dan haram untuk para tamu. Saat kuliner telah diolah maka status halal dan haram menjadi abu-abu. Saya pun tidak ragu untuk mengambil kuliner yang sekilas seperti rendang. Namun, teman saya langsung sigap mencegahnya, "maaf pak, kalau yang ini makanan B, yang nggak ada B di bagian sana". Teman saya pun mengantar saya ke deretan kuliner yang dianggap halal, seperti olahan ikan, tahu dan tempe.      

Keanekaragaman kuliner di Bali kini mengalami peningkatan saat perkotaan di Bali khususnya Kota Denpasar menjadi kota pertama tujuan para pendatang yang mengadu nasib. Karena, hanya pekerjaan atau sektor informasl yang menjadi ladang untuk menghasilkan uang. Selanjutnya,  memunculkan identitas kuliner yang berbau halal mulai mudah dideteksi secara kasat mata.

 Banyaknya warung makan yang dimiliki oleh pendatang suku Jawa telah menghiasi hampir di seluruh Bali. Dan, yang menarik adalah warung makan yang mayoritas sebagai usaha UMKM menyertakan label "Muslim" pada banner atau papan nama warungnya. Bukan itu saja, untuk meyakinkan bahwa makanan yang disajikan halal juga diperkuat dengan label nama kota asal seperti Blitar, Banyuwangi, Lamongan, Surabaya dan lain-lain. Sebagai contoh: Warung Muslim Jaya Rejeki Surabaya yang berada di kawasan Monang Maning Denpasar.  

Warung makan yang papan namanya terdapat label "Muslim" dan "halal di kota Denpasar (Sumber: dokumen pribadi)
Warung makan yang papan namanya terdapat label "Muslim" dan "halal di kota Denpasar (Sumber: dokumen pribadi)
Ada makna yang menarik pada label "Muslim" di warung makan yang dimiliki suku Jawa yaitu meyakinkan kepada pembeli khususnya yang beragama Islam bahwa kuliner yang disajikan telah diproses sesuai dengan aturan Islam atau terhindar dari bahan-bahan makanan yang "diharamkan" oleh kitab Alqur'an. Jika kita perhatikan baik-baik warung-warung tersebut justru banyak dikunjungi dari konsumen yang beragama lain khususnya masyarakat Hindu Bali sendiri. Label "Muslim" juga menjadi senjata ampuh untuk memberikan keamanan dan kenyamanan meski secara tidak tertulis kepada konsumen bahwa kuliner yang dinikmati tidak bertentangan agama Islam.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa pengusaha warung makan tersebut tidak berusaha untuk memiliki Sertifikasi Halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)?  Padahal, dengan kepemilikan Sertifikasi Halal tersebut, label "Muslim" tidak perlu ditampilkan dalam papan nama warung makannya. Karena, label tersebut bisa memberikan makna berbeda bagi penganut agama yang lain jika salah mengartikannnya. Saya memahami bahwa label "Muslim" tersebut sebagai pengganti Sertifikasi Halal agar pengunjung yang beraneka agama tidak ragu untuk menikmati kuliner yang disajikan.

Bagi orang awam atau yang tidak mau ribet beranggapan bahwa proses penerbitan Sertifikasi Halal memerlukan banyak biaya, waktu dan tenaga. Apalagi, toh selama ini konsumen tidak mempermasalahkan atau mempertanyakan masalah Sertifikasi Halal tersebut untuk lebih meyakinkan kuliner yang disajikan benar-benar halal.  Namun, perlu dipahami bahwa akselerasi bisnis dengan modal label "Muslim" tidak akan secepat dengan usaha kuliner yang benar-benar telah memiliki Sertifikasi Halal. Sebagai contoh, Rumah Makan Ayam Goreng "Wong Solo" atau restoran modern semacam Hokben. Usaha kuliner tersebut bisa melakukan ekspansi bisnis ke manapun baik di wilayah Indonesia atau ke luar negeri.

Berbeda dengan warung makan yang menyajikan kuliner ayam goreng dan bermodalkan label "Muslim". Ekspansi bisnis kuliner tersebut sangatlah terbatas. Bukan hanya itu, label "Muslim" meskipun tidak mengundang pro dan kontra tetapi "percaya atau tidak" kuliner yang disajikan "tidak dijamin" 100 persen kehalalannya. Faktanya, konsumen tidak tahu persis ayam goreng yang disajikan oleh pengusaha kuliner, apakah dipotong secara hukum Islam dengan mengucapkan "Bismillah" atau dipotong dengan menggunakan mesin secara massal.

Label "Muslim" yang disematkan pada warung soto di kawasan Denpasar (Sumber: dokumen pribadi)
Label "Muslim" yang disematkan pada warung soto di kawasan Denpasar (Sumber: dokumen pribadi)
Kondisi itulah yang masih diragukan halal dan thoyyib (baik) kuliner yang dijual. Karena, proses penyajian kuliner dari hulu hingga hilir yang disajikan di depan konsumen tidak diteliti atau diawasi secara ketat oleh badan yang berkompeten, yaitu: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Karena, label "Muslim" menjadi senjata ampuh untuk meyakinkan konsumen bahwa produk kuliner yang disajikan adalah halal adanya meskipun dalam proses penyajiannya ada hal-hal yang di luar kesadaran bertentangan dengan syarat mutlak sebagai produk halal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun