Mohon tunggu...
Carolina Artemis
Carolina Artemis Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Integritas seseorang diukur dari cara pandang bukan tinggi badan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Film Indonesia: Perempuan dan Era Orde Baru

7 Maret 2022   19:38 Diperbarui: 8 Maret 2022   07:23 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artikel penelitian Krishna Sen dalam Majalah Primahttps://warungarsip.co/tag-produk/krishna-sen/

Tidak asing lagi bagi kita menyaksikan perempuan dalam sebuah tayangan film Indonesia, berperan sebagai sosok yang penurut dan takut kepada laki-laki. Alur cerita yang ditampilkan oleh masing-masing  film tentu berbeda. Mengikuti genre dan pesan yang ingin disampaikan. Akan tetapi terdapat kesamaan konsep yang seringkali ditemui antara satu film dengan film lainnya. Konsep ini mengarah pada peran aktrisnya di dalam alur cerita. Sebagai warga negara Indonesia saya tentu pernah mengonsumsi produk media lokal salah satunya adalah film. Film dari berbagai macam genre seakan telah 'dilahap habis' oleh media perfilman Indonesia. Mulai dari latar belakang, pesan yang ingin disampaikan, alur cerita, hingga pemilihan pemainnya. Hal yang disorot daripada itu adalah seringkali adanya representasi perempuan yang seolah tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa atas laki-laki.


Permasalahan seputar representasi perempuan pada film Indonesia, disorot oleh seorang Indonesianist sekaligus seorang jurnalis asal Nepal, Krishna Sen. Penelitian Krishna Sen yang dituangkan dalam artikel, mempertanyakan perihal hakikat dan pendirian hak-hak perempuan dalam film Indonesia. Dari hasil penelitiannya, menurut (Sen, 1981) film Indonesia selalu menampilkan wajah perempuan yang sama, yakni perempuan yang diterima adalah perempuan yang berlindung di bawah naungan lelaki. Perempuan yang mencoba untuk melawan dan keluar dari sistem yang ada dengan berusaha menjadi perempuan mandiri merupakan suatu kesalahan dan hal yang 'terkutuk'.

Takluk Dalam Pelukan Laki-laki

Mari kita lihat bersama pada tahun 1979, saya mengambil contoh film "Kabut Sutra Ungu" adaptasi dari novel karangan Ike Soepomo hadir ke dunia perfilman Indonesia. Menampilkan tokoh perempuan bernama Miranti yang digambarkan memiliki keteguhan dalam menjalani hidupnya sebagai seorang janda dengan dua anak. Keteguhan dalam menjalani hidup sebagai seorang janda seolah memudar ketika dirinya ternyata mudah luluh dan jatuh dalam pelukan lelaki. Begitu pula dengan film populer adaptasi dari novel karangan Marga T. berjudul "Karmila" pada tahun 1974. Bercerita mengenai karir dan kehidupan percintaan Karmila yang mulai runyam ketika kehormatan kewanitaannya direnggut oleh lelaki tidak bertanggung jawab. Karmila yang tidak bisa berbuat apa-apa, menggambarkan sosok perempuan yang pasrah terhadap takdir. Dari kedua film ini, dapat saya katakan bahwa perempuan direpresentasikan ke dalam posisi yang lemah terutama ketika berhadapan dengan laki-laki. Perempuan seolah tidak memiliki kuasa untuk melakukan perlawanan maupun dominasi.

Poster film
Poster film "Kabut Sutra Ungu"https://en.wikipedia.org/wiki/Kabut_Sutra_Ungu

Film Indonesia Era Orde Baru

Sen mengamati perempuan hanyalah menjadi objek untuk menawarkan daya tarik yang dimiliki untuk memperoleh keuntungan dalam artian film yang diproduksi laris terjual oleh penonton. Saya mencoba menarik garis ke belakang, berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh Sen mengenai permasalahan representasi perempuan pada film Indonesia saat itu, terdapat alasan historis yang mendasari film-film Indonesia menggaungkan hal-hal seksualitas dan menjadikan perempuan sebagai sosok yang tidak memiliki kuasa atas laki-laki. Alasan tersebut terletak pada latar belakang pemerintahan pada saat itu tepat memasuki era Orde Baru. Negara pada saat itu memiliki aturan dan kekuasaan yang mengintervensi konstruksi sosial. Hal ini berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh seorang Indonesianist asal Australia bernama David T. Hill. Bersama dengan Krishna Sen, David T. Hill meneliti terkait dengan teks media salah satunya adalah film. Menurut Sen dan Hill dalam (Safrina, 2002) munculnya sinema Indonesia dipengaruhi oleh pemerintahan Orde Baru pada saat itu. Diperkuat dengan fungsi dan tugas perempuan menurut Sullivan, dalam (Stivens, 1989) perempuan sebagai istri pendamping suami, ibu pengelola rumah tangga, penerus keturunan, dan sebagai pendidik anak dan sebagai warga negara Indonesia. Hal ini semakin kuat membuat sebuah tuntutan budaya stereotip perempuan dalam budaya partriarki.

Feminisme

Berdasarkan tulisan di atas, menurut saya teori feminisme dapat menuntun kita dalam membedah "the real structure" dari representasi perempuan dalam film Indonesia. Menurut Beasley & Theus, 1988 dalam (Fortner & Fackler 2014. h. 363) feminis mulanya merupakan sebuah gerakan aktivis perempuan barat yang kemudian menjadi gelombang akademik dan dikenal sebagai program "Women Studies", yang kemudian bersatu karena adanya anggapan perbedaan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat. Bertujuan untuk memberi kesadaran baru bahwa peran tradisional perempuan ternyata menempatkan perempuan di posisi yang tidak menguntungkan. Dalam artian feminisme merupakan perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan hak dengan laki-laki dan inilah yang diperjuangkan hingga saat ini.

Perempuan Juga Punya Harga Diri

Film Indonesia mengalami perkembangan yang pesat. Ditandai dengan meningkatnya jumlah penonton dari waktu ke waktu. Era globalisasi saat ini, film Indonesia sudah tidak melulu menampilkan sosok perempuan yang lemah. Sebaliknya, lebih merepresentasikan perempuan sebagai individu yang mandiri dan lebih bermartabat. Stigma perempuan tradisional seolah dipatahkan dan dibantah oleh adegan-adengan yang ada pada film Indonesia masa kini. Perempuan memilki kebebasan untuk berekspresi dalam rangka mempertahankan harga diri sebagai seorang perempuan. Memiliki perusahaan, menjadi seorang pemimpin, dan mengambil keputusan dalam keluarga menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh perempuan. Akan tetapi masih ada film Indonesia yang masih merepresentasikan perempuan sebagai individu yang lemah dan harus patuh kepada laki-laki. Kiranya apa yang telah kita bahas bersama mengenai representasi perempuan dalam film Indonesia dapat membuka sudut pandang baru bagi masing-masing kita bahwa perempuan juga memiliki hak dan kebebasan dalam hidup bermasyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun