Mohon tunggu...
Carolina Adak
Carolina Adak Mohon Tunggu... Apoteker - A long life learner

Apoteker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kebun Singkong

17 November 2018   14:25 Diperbarui: 17 November 2018   14:42 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Asap mengepul yang berasal dari samping rumah bertingkat dua dan yang berwarna hijau itu membuat semua orang yang melewati jalanan itu menutup hidung dan mulut dengan tangan mereka. Beberapa diantaranya sampai terbatuk-batuk karena asap yang sangat tebal. Semua mata memandang tajam kearah pak Marten, seolah berbicara untuk segera hilangkan asap itu. Adalah pak Marten seorang lelaki paruh baya dengan topi biru dan kemeja lengan panjang lusuh sedang membersihkan rumput liar dan membakarnya di kebun singkong sebelah rumah hijau. Rumput yang sebagian besar masih hijau itu dibakarnya bercampur dengan rumput kering dan sampah lainnya. Tak heran jalanan diselimuti asap tebal. Dengan linggis ditangannya pak Marten tetap melaju membersihkan dan menggembur tanah yang sudah ditumbuhi singkong cukup tinggi. Hujan pun akhirnya turun setelah sebelumnya memperlihatkan awan yang cukup hitam. Hujan seolah jadi jawaban doa dari mereka yang melewati jalanan yang dipenuhi asap bakaran rumput pak Marten. Pak Marten pun bergegas menepi ke arah pohon mangga yang cukup rindang namun tetap tak dapat menahan rintik air hujan yang datang menyerbu. Basah kuyuplah pak Marten dibuat oleh hujan yang tak tertahan daun dari pohon mangga.

"Ah apa gunanya berteduh, hujan sudah terlanjur menyentuh kulit. Jalan dan pulang saja" gumam pak Marten dalam hati

Tiba di rumah, pak Marten diseduh segelas kopi hitam asli oleh sang istri, bu Tere.

 "Sudah tau akan hujan, masih saja nekat ke kebun. Besok kan masih bisa" ujar bu Tere sambil duduk disamping pak Marten melanjutkan jahitannya pada baju seragam Ardi, anak mereka.

 "Daripada di rumah bengong bu, badan pegal gak ngapa-ngapain" 

"Alasanmu. Padahal biar bisa ngelirik gadis SMP SMA yang lewat sana"

"Bu ini ngomong apa sih. Ngasal aja taunya."  ujar pak Marten sambil menghisap rokok yang sudah sisa separuh. 

" Gimana pak sama uang sekolah Ardi?" pertanyaan bu Tere jadi lebih serius. Pak Marten menghisap rokok dengan dalam, lalu mengeluarkan asapnya dengan kasar. Matanya berkaca-kaca, memikirkan betapa dia seolah tak berguna jadi seorang ayah. Pak Marten dan bu Tere menikah diusia yang masih sangat muda, 20 tahun. Dikarenakan kondisi ekonomi keluarga masing-masing yang tidak bisa lagi menyekolahkan mereka, menikah adalah satu-satunya pilihan. Selang 10 tahun menikah, barulah mereka dikaruniai seorang anak. Bahagia juga sedih, karena entah bagaimana caranya mereka menyekolahkan Ardi. Kini Ardi sudah dibangku SMP, saat Sekolah Dasar Ardi mendapat bantuan untuk bisa bersekolah gratis. Namun sekarang, tak ada lagi bantuan, mereka harus siap membiayai seolah Ardi. Baru tahun pertama, namun sudah dua kali mendapat surat peringatan dari sekolah untuk segera membayar uang SPP. Pekerjaan pak Marten dan bu Tere pun tak cukup untuk membayar SPP Ardi. Pak Marten hanyalah seorang buruh kasar, yang bisa mengerjakan apa saja yang membutuhkan tenanganya. Kebun yang sekarang dikerjakan pun luasnya tak seberapa. Sedangkan bu Tere hanya sesekali membuat jajanan dari singkong dan menjualnya di warung-warung kecil. 

"Nanti bapak akan coba pinjam ke pak RT" jawab pak Marten singkat.

Singkong goreng dan ikan asin jadi makanan utama malam itu. Beras sekilo pun belum bisa dibeli, karena semua uang benar-benar disimpan untuk membayar SPP Ardi. Dalam remang cahaya lampu, ketiganya menikmati makanan yang ada. Tak ada suara yang keluar dari ketiganya, entah sibuk mengunyah atau lelah dengan pembicaraan yang sama tiap malam. Malam semakin larut, hujan belum juga reda semenjak siang tadi. Suara hujan seolah menambah kecamuk dalam hati Ardi. Dia memiliki sedih yang sungguh dalam, itu kata hatinya. Dia lelah menunggu akan jawaban Tuhan, jiwa mudanya merasa tertekan dengan kondisi yang ada. Dimatikannya lampu kamar, isak tangisnya membaur bersama dengan suara hujan. Makin lama makin besar, seolah bebannya ingin keluar dari dalam raganya tapi terkunci mati oleh kesusahannya. Ardi merasa malu dengan teman-temannya, uang SPP nya belum dibayarkan sama sekali. Orang tuanya harus meminjam kesana kemari untuk itu. Dia merasa perlu membunuh dirinya untuk menormalkan keadaan, itu kata hatinya lagi. Diambilnya sarung yang dipakainya tiap malam, diikatkan dengan kuat dengan sebuah kayu yang menopang pintu kamarnya. Air mata makin deras mengalir saat kakinya dilangkahkan menaiki kursi kecil dan dia mulai melingkarkan kain tersebut dilehernya. 

Di kamar sebelah, ibu terbangun. Segera menuju kamar Ardi seolah ada yang menyuruh. Dibukanya pintu dan dilihatnya Ardi tergantung lemas, matanya sesekali terbuka. Lama kelamaan melemah.Para dokter dan perawat dengan cepat mengambil tindakan. Ardi dibawah ke ruang ICU dan pak Marten dan bu Tere menunggu di luar.

 "Selain apakah Ardi bisa diselamatkan atau tidak. Aku tau hal apa yang ada dipikiranmu sekarang pak" bu Tere membuka pembicaraan sambil sesekali mengusap air mata yang dari tadi tak kunjung berhenti mengalir

" Lupakan hal itu bu. Lupakan kalau selepas ini aku harus menggali lubang untuk membayar semuanya."Pak Marten menundukan wajahnya, ia menangis.

"Berharap Ardi tidak memiliki garis hidup yang sama seperti diriku. Bukannya mewarisi darah kotorku. Mungkin sebelum kejadian ini, aku merasa sangat lelah mencari uang. Tapi karena aku ayahnya, aku merasa memerlukannya tetap ada dan hidup. Aku mencintai anak itu bu." Suara tangis pak Marten pun pecah di lorong rumah sakit yang sepi. Seolah segala beban dan sakit hatinya bebas dari dalam kurungan. Bu Tere tidak lagi dapat berkata-kata melihat suaminya menangis tak karuan. Entah apa yang akan mereka lakukan setelahnya, mereka tetap bukanlah orang tua yang bersyukur jikalau anaknya tak lagi ada. Menjual kebun singkong bisa saja mereka lakukan, namun tentu tak akan cukup mengingat luas kebun mereka yang tak seberapa. Jika ditambah dengan menggadaikan rumah, konsekuensinya sangat berat. Dari mana mereka mencari uang untuk menutupinya kelak dan apakah ada orang yang mau membeli rumah sebutut itu. Banyak hal terlintas dalam kepala, namun hati seolah tak mau kalah. Dia makin sakit berbanding lurus dengan beban yang tak kunjung lenyap.

 2 minggu kemudian, saat bu Tere sedang menyapu membersihkan halaman rumah, seorang pria dan wanita paruh baya datang dan mendekat. Wajah bingung jelas nampak di wajah bu Tere. Keduanya datang dengan mobil Toyota rush yang dikendarai seorang supir berbadan cukup tegap.

 "Ada yang bisasaya bantu bapak, ibu?" sapa bu Tere dengan senyum bingungnya"Dimana suamimu?" Tanya si ibu langsung pada bu Tere tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaannya

"Suami saya baru saja berangkat ke kebun bu, kerja dia. Ada apa dengan suami saya?"

"Wah pantas saja kita tidak berjumpa ya pa?" balas si ibu tersebut sambil melirik ke arah suaminya. Makin bingunglah bu Tere. Apa maksud kedatangan sepasang suami istri ini. Namun setelah diceritakan barulah bu Tere paham dan berterima kasih. Pasangan suami istri ini adalah pemilik rumah hijau disamping kebun singkong pak Marten. Setiap kali pak Marten membakar rumput dikebunnya ternyata bersamaan dengan rumput yang ada di luar pagar rumah mereka. Tanpa bertanya dan berharap diberi imbalan, pak Marten melakukannya dengan tulus. Pasangan suami istri ini sudah sering memperhatikan, hingga ketika Ardi dibawah ke ICU, pasangan ini menuju rumah pak Marten. Namun setelah mendengar dari tetangga akan kejadian yang sedang dialami, keduanya memutuskan menyusul ke Rumah Sakit. Biaya pengobatan Ardi pun di bayar lunas oleh keduanya. Bahkan sisanya cukup untuk membayar uang SPP Ardi. Tanpa memberitahu identitas keduanya melakukan hal itu, kata mereka biar seperti pak Marten yang bekerja tanpa mengharapkan imbalan apapun. 

Begitulah hidup, baiknya memperlakukan kebaikan dengan kebaikan pula. Niscaya, perayaan kebaikan itu akan datang dari masa depan dengan tidak pernah terlambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun