Mohon tunggu...
Lila Carmelia
Lila Carmelia Mohon Tunggu... -

berawal senang membaca dan kemudian mencoba untuk menuangkan beragam imajinasi dalam sebuah cerita....semoga slalu menghibur para penikmat cerita pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | 10 Jam yang Lalu

24 Maret 2018   16:34 Diperbarui: 24 Maret 2018   17:17 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: runlovers.it)

Pukul 20.00

Mengapa perpisahan selalu jadi bagian akhir yang menyesakkan? Meskipun aku sudah tahu sebelumnya. Air bening ini mengalir sendiri.  Aku ingin menghentikannya, hanya ingin menikmati kesedihan ini sendiri...

"Turut berdukacita..."kata orang-orang yang hilir mudik datang.

"Kamu sudah siap?"

Alea menarik lenganku. Sebentar lagi peti ditutup. Ini terakhir kalinya aku bisa memandang wajahmu. Dengan sisa kekuatan yang ada, aku bergerak mendekati peti itu. Memandangmu lama sambil menikmati saat-saat terakhir bersama. Saat bahuku disentuh, aku hanya merasa melayang...jauh...

****

Pukul 19.00

Aku masih menatapmu, dari jarak yang tak terlalu jauh. Berbincang akrab dengan beberapa sahabat dan kerabat walau mataku tetap tak lepas dari wajahmu.

"Bagaimana keadaannya?"tanya Brenda sepupuku.

"Baik, mungkin capek saja."

"Sebaiknya kita semua cepat pulang."

"Al butuh istirahat dan waktu berdua bersama istrinya."Ines berbisik menggoda.

Aku tersenyum sambil memandangnya. Matanya tertutup sekarang. Mungkin Al tak tahan untuk segera tidur.

Setengah jam kemudian. Hanya tinggal aku dan Alea di kamar itu. Aku menciumi pipinya...keningnya...matanya dan bibirnya. Tak ada respon apapun.

"Mengapa Al diam saja?"tanyaku pada Alea yang baru saja keluar dari kamar mandi. Alea bergegas menghampiri.

"Badannya panas!"Sahutnya cemas.

Suster jaga berdatangan. Ada yang keluar lagi beberapa saat kemudian. Ada yang serius memeriksa denyut nadi dan bola mata Al, sampai akhirnya....

"Silahkan ibu menunggu di luar."

"Dokter Paul harus memeriksanya dengan cermat!"

Aku sempat memandang Alea dengan wajah protes. Harusnya aku bisa tetap di samping Al. Alea menarik tanganku sambil berbisik,

"Sebentar saja.Berikan waktu kepada dokter dan suster-suster ini."

Dengan berat hati, aku melangkah keluar bersama Alea.

****

Pukul 18.00

Aku baru saja kembali dari hotel. Jaraknya tak terlalu jauh dari rumah sakit. Aku hanya ingin mandi. Mengganti baju dan menyegarkan badan dengan air dingin yang keluar dari shower.

Bersiap untuk menemani Al di samping tempat tidurnya nanti malam. Malam pertama kami yang akan kami isi dengan saling bercerita dari hati ke hati. Tanpa suara....

Menatap bola matanya, menggenggam tangannya, tersenyum sesekali sambil mengusap rambutnya.Tak bisa berharap tangannya yang kuat merengkuh bahuku dan memeluknya. Tak usah membayangkan ciuman yang dasyat dan menggairahkan. Aku punya ketulusan...cinta tanpa syarat dan kesabaran.

"Sudah dipikirkan?"

"Jangan karena kasihan!"Alea mengingatkan.

Alea adik Al memang sahabatku sejak dulu. Jauh sebelum aku dan Al memiliki hubungan istimewa.

"Yang mengejarnya banyak loh."Alea menggoda.

"Tidak takut dengan long distance relationship?"

"Kan kamu mata-matanya!"jawabku sambil terbahak-bahak di samping Alea.

Al dan aku sempat merasakan indahnya masa pacaran. Al pasti pulang ke Indonesia saat musim liburan. Memang berbeda, saat membayangkan seseorang berada di dekat kita dan saat bisa menggenggamnya dengan nyata.

Satu tahun terakhir rasanya begitu berat. Al sempat tak mau bertemu lagi. Aku memaklumi. Al yang dulunya gagah dan sehat kini harus terbaring di tempat tidur dan sangat tergantung pertolongan orang lain. Hanya kekerasan hatiku yang sanggup mencairkan lagi kebekuan hatinya. Aku hanya ingin membuktikan dalam keadaan apapun cintaku tak pernah berubah untuk Al....

****

Pukul 17.00

"Mandi dulu ya pak..."

Dua orang suster masuk ke kamar dengan membawa peralatan mandi. Tubuh Al yang semakin kurus itu tampak dengan mudah di lap dan dibersihkan.

"Nanti kalau pulang ke rumah sudah ada yang bisa memandikan, kan sekarang sudah ada istri."Suster itu menggoda.

Al sempat memandang ke arahku. Aku melihat wajahnya bersinar-sinar hari ini. Al memang sempat menolak pernikahan ini beberapa kali. Al merasa tak adil kalau aku harus merasakan penderitaannya, rasa sakitnya. Al tak ingin berbagi denganku soal itu.

"Sudah selesai pak Al."

Dua suster itu pamit keluar. Aku baru bisa memandangnya dengan leluasa.  Mencium pipinya sambil merasakan wangi sabun yang terasa menyegarkan. Masih terlihat sisa-sisa ketampanannya dulu. Aku tak salah menikahinya. Bukan cuma aku yang jadi penyemangat hidup Al tapi Al juga memberiku kekuatan lebih untuk memperjuangkan hidup dan cinta kami berdua.

****

Pukul 16.00

Al masih tampak tidur. Al memang tak mungkin terjaga terus. Bahkan untuk ngobrol saja tak bisa terlalu lama. Mengusap tangan dan kakinya mungkin lebih baik daripada mengajaknya bicara. Sentuhan lembut, tatapan penuh cinta atau senyuman manis pasti lebih berarti untuk Al.

"Al masih tidur?"Ardi menghampiriku.

Aku menganggukkan kepala.  Ardi kakak lelakiku. Pasti ada rasa was-was saat ia tahu aku ingin menikahi seorang laki-laki yang sudah tak berdaya. Bagaimana bisa bertanggungjawab atas hidupku kalau mengurus dirinya sendiri saja sudah tak bisa? Bagaimana bisa menitipkan adik perempuan satu-satunya agar hidupnya tak pernah menderita?

Aku dan Ardi sudah pernah membicarakan ini dari hati ke hati seminggu yang lalu. Pembicaraan yang cukup panjang di malam itu. Bukan karena Ardi tidak suka kepada Al tapi rasa sayang Ardi yang besar kepadaku.

"Apakah pernikahan ini tidak terlalu terburu-buru?"

"Kamu masih bisa bertemu laki-laki yang normal."

"Pernikahan itu seumur hidup."

"Kebahagiaan dan kesulitannyapun seumur hidup."

"Kamu sanggup? "

Ardi banyak bertanya malam itu. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya seumur hidup kami. Ardi pendiam. Tak banyak mengomentari hidup orang lain. Kalau ia sampai bicara malam ini, pasti itu sesuatu yang sangat penting untuknya. Yang harus dikatakannya agar ia sendiri tak menyesal karena tak pernah menyampaikan apa-apa

****

Pukul 15.00

Al sempat bangun. Setelah dua jam tidur. Hari ini memang bukan seperti pesta pernikahan yang biasa di saksikan orang. Tak ada kemeriahan pesta yang membuat  seluruh keluarga besar kerepotan. Tapi buat Al pasti tetap melelahkan.

"Al tidak pernah membuka matanya lebih dari 30 menit."Alea berbisik.

"Pasti ada kekuatan lebih yang dimilikinya hari ini."

"Perasaan bahagia..."

Aku melihat air mata yang menggantung di sudut mata Alea. Ia memang sangat mencintai Al. Tempat Alea mencurahkan kegelisahannya hanya Al. Itu sebabnya mengapa Alea sangat berterimakasih untuk cintaku yang begitu besar kepada Al. Alea sangat tahu, untuk menikahi seorang laki-laki tampan,gagah dan kaya tak sulit buatku. Tapi aku tetap memilih Al.

"Terimakasih ya...kamu sudah memberikan kebahagiaan untuknya."

"Semoga pernikahan ini malah memberi kekuatan buat Al untuk tetap hidup."

"Aku mencintainya....tanpa syarat!"bisikku di telinga Alea.

****

Pukul 14.00

"Bagaimana kondisinya,suster?"

"Baik. Ini hanya pemeriksaan rutin."

"Semuanya masih normal."

Aku dan Alea cukup cemas. Untuk orang sehat saja, berjam-jam mengikuti ritual pernikahan  sangat melelahkan, apalagi untuk Al.

"Apa rencanamu ke depan?"

"Belum tahu. Yang pasti mendampingi Al di rumah sakit selama aku cuti."Sahutku kepada Ines sahabatku di kantor.

"Tenang saja. Aku akan membantu."

Hari ini memang sangat membahagiakan. Rasanya semua orang memberi kekuatan, mendukung dengan berbagai cara yang mereka bisa. Aku semakin yakin. Tak akan melewati kesedihan maupun kesenangan sendirian.

****

Pukul 13.00

Ardi dan Alea berbincang cukup akrab. Aku sempat melihat binar-binar tak biasa di mata keduanya. Pernah aku meledek Ardi danAlea saat kami pergi nonton bertiga.

"Kalian berdua cocok."

" Sebagai apa?"tanya Alea sambil mengerling kearah Ardi.

"Sepasang kekasih."Jawabku sambil menghabiskan ice cream cup itu.

"Mana ada ceritanya kakak beradik menikah dengan keluarga yang sama!"

"Itu kan pikiranmu..."jawabku lagi.

Ardi memang cukup santai menyikapi pikiranku. Tak bisa menebak apa yang ada dipikirannya sejak dulu. Aku tahu benar bagaimana Ardi. Sekuat keyakinanku kalau Ardi juga mencintai Alea.

"Tak ingin mencoba memacarinya?"tanyaku kepada Ardi kemudian.

Ardi hanya tersenyum. Aku memang tak pernah mendesak Ardi dan Alea lagi. Aku membiarkan perasaan mereka berkembang sendiri. Dan waktu yang akan menjawab kedekatan mereka, tatapan mesra mereka bahkan sentuhan yang penuh arti yang bisa kurasakan sebagai orang terdekat mereka.

"Makan siang saja dulu."

"Harusnya malah kamu yang makan duluan."Alea menyahut.

"Kamu pasti lebih capek dari kami."

"Sudah kenyang. Makan roti tadi."

"Aku tak ingin meninggalkan Al."

Ardi menggamit tangan Alea. Aku hanya memandang punggung mereka sebentar dan sempat melihat Ardi melingkarkan tangannya ke pundak Alea.

****

Pukul 12.00

Beberapa keluarga dan sahabat sudah pulang. Ada yang punya acara lain, ada juga yang berpikir tak enak terlalu lama di rumah sakit. Tak ingin mengganggu istirahat Al dan perasaan bahagianya di hari bersejarah ini. Semua yang hadir memang mencintai Al. Sebelum Al sakit, ia cukup dekat dengan keluarga. Tante, om dan beberapa sepupunya bahkan teman dekatnya.

"Selamat ya Al..."

"Kami pulang dulu."

Satu persatu keluarga dan sahabat pamit, walau ada beberapa yang masih bertahan di rumah sakit.

"Al harus semakin sehat ya."

"Kan sekarang sudah ada istri."Tante Caterine berkata saat akan pamit pulang.

Al mengangguk dengan wajah yang berseri-seri walau terlihat capek. Al melirikku dan aku makin mempererat genggaman tangannya.

"Kalau capek tidur saja."Bisikku di telinga Al.

"Jangan dipaksakan."

"Aku tidak pergi kemana-mana."

Al mengangguk dan memejamkan matanya. Aku mencium keningnya sebelum beranjak ke pintu kamar untuk mengucapkan terimakasih kepada keluarga dan sahabat yang akan pulang.

****

Pukul 11.00

Aku memasangkan cincin pernikahan kami di jari manis Al, sebelumnya Al melakukan hal yang sama. Cincin pernikahan sederhana yang kusiapkan seminggu sebelumnya. Semua yang hadir terharu dan menitikkan air mata. Aku sendiripun tak sanggup untuk tak menangis di sisi tempat tidur Al sambil menggenggam tangannya.

Mungkin ini bukan pesta pernikahan biasa bahkan bukan pesta pernikahan impian, tapi aku memilihnya dengan sadar. Sadar tak selamanya kenyataan hidup seindah yang kubayangkan. Aku hanya punya ketulusan, cinta tanpa syarat dan kesabaran.

Al sangat tahu itu. Aku berulang-ulang mengatakannya agar ia mengerti kalau menerima keadaannya adalah wujud rasa cintaku yang besar. Kalau hari ini aku berjanji di hadapan Tuhan untuk menerimanya dalam susah dan senang, dalam sehat dan sakit, dalam untung dan malang, aku menyadari sepenuhnya perjanjian ini bukan hanya antara aku dan Al tapi juga dengan Tuhan yang tak dapat kuingkari seenaknya sebelum perjanjian itu berakhir saat maut memisahkan.

****

Pukul 10.00

Hari bahagia kami tiba juga. Aku sudah berdandan dari jam 7 tadi. Aku ingin terlihat cantik di mata Al. Dengan baju pengantin putih yang sudah kusiapkan. Aku harus menyiapkan semuanya dengan sangat sederhana dan cepat. Bahkan ijin dari rumah sakit pun baru kudapat kemarin

Aku menarik nafas berkali-kali. Dag dig dug rasanya membayangkan pernikahan ini. Tak ingin membayangkan hal-hal yang terlalu manis yang akan kujalani bersama Al. Aku hanya ingin menyatakan besarnya rasa cintaku pada Al, hingga tak takut untuk memutuskan menjadi pendamping hidupnya...sampai maut memisahkan.

"Hai sayang..."

Aku mendekati tempat tidur Al. Melihatnya tersenyum sambil menatapku lekat. Kami menghabiskan waktu beberapa menit untuk saling berbicara dari hati ke hati...tanpa suara. Aku memang tak bisa banyak bicara, sama seperti Al juga. Tapi kami punya cinta yang lebih banyak berbicara lewat sikap kami, lewat rasa yang kami bangun dengan pengertian yang dalam akan hidup dan cinta yang akan kami perjuangkan sampai mati.

"I love you..."Bisikku di telinga Al.

Aku hanya melihatnya menangis. Sekalipun Al tak berkata apa-apa. Aku meyakini banyak yang ingin disampaikannya sebagai laki-laki normal meskipun dengan tubuh yang tak lagi normal.

****

Sepuluh jam bersamamu, adalah sepuluh jam terindah yang pernah terasa. Disaksikan keluarga dan sahabat, foto pernikahan yang akan selalu menjadi kenangan yang terekam.

Tak pernah berpikir hanya bisa menikamati kebahagiaan itu selama sepuluh jam. Aku selalu berkata, kalau aku punya ketulusan, cinta tanpa syarat dan kesabaran. Aku hanya ingin memberikan kebahagiaan untuk Al, untuk segala cinta yang sempat ku terima darinya, walau kesempatan terakhir ini hanya bisa kulalui...sepuluh jam bersamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun