Hal serupa juga terjadi di Indonesia dengan jumlah kasus pada 2 Maret-25 April 2020 yang mencapai 277 kasus pada perempuan dewasa, dan 407 kasus pada anak[2]. Beban domestik yang tidak seimbang dalam merawat anak dalam memenuhi kebutuhan domestik menjadi salah satu penyebabnya. Â
Pertanyaan pertama kepada kita yang sedang mengisolasi diri adalah, apakah kita merasa hari-hari selama isolasi diri berjalan lebih cepat dari biasanya? Seakan-akan semua terjadi tidak dalam hitungan hari lagi, tetapi menjadi pergantian di setiap minggu.Â
Perasaan akan waktu kita semakin menumpul karena kita selalu berpapasan dengan hal-hal yang itu saja, seperti bangku, kursi, bahkan udara artifisial dari pendingin udara.Â
Hidup kita terlalu teratur sehingga kita gampang lupa dan tidak ada kejadian yang berkesan untuk diingat. Kita butuh "ketidak teraturan" dalam keseharian untuk membuat hari bermakna.
Dengan bergerak kita belajar untuk mengapresiasi ruang dan waktu, ketika saya bersepeda saya mengamati setiap pohon dan bunga-bunga yang ada di jalan, ataupun para pejalan kaki yang bisa saya lihat secara langsung ekspresinya.Â
Bersepeda membantu saya merasakan waktu lebih lama berlalu dan banyak kejadian menarik yang terjadi. Tidak seperti berdiam diri di rumah menonton film yang tanpa sadar sudah sampai malam.
Berdamai dengan pandemi, caranya?
Presiden Joko Widodo meminta kita untuk berdamai dengan pandemi[3], saya menangkap bahwa Presiden kita menekankan kalau hal ini akan berlangsung lama dan kita harus bisa beradaptasi dengan keadaan pagebluk ini sampai vaksin ditemukan. Mungkin saja dalam waktu dekat kita diperkenankan bekerja ke kantor kita masing-masing namun dengan tetap melaksanakan protokol kesehatan.Â
Pertanyaanya, apakah kedamaian ini bisa terwujud jika kita tetap di rumah saja? Jika kita pada akhirnya diperbolehkan untuk bergerak dan beraktivitas dengan jaga jarak, apakah pemerintah sudah mempersiapkan protokol jaga jarak yang nyata di lapangan?
Saat ini kita belum terlalu melihat penumpukan yang berarti dalam penggunaan transportasi umum, namun jika di masa depan orang-orang sudah bisa bekerja dan masih bergantung kepada transportasi umum, bisa dibayangkan penumpukkan penumpang yang terjadi.Â
Bagaimana tidak, orang-orang menggunakan transportasi umum karena harganya yang murah. Jika pemerintah membatasi penggunaan transportasi umum dan bahkan anggarannya saja dikoreksi sampai 53%[4] (pada Pemprov DKI Jakarta) bagaimana kita bisa menjamin pergerakan warga kota tetap berjalan?
Polusi yang menumpuk di Jakarta dapat memperparah kondisi kesehatan pernafasan warga Jakarta dan dapat memperparah kemungkinan meninggal akibat COVID-19[5]. Lagipula jika kita serahkan kepada motor dan mobil, tidak semua warga memiliki uang untuk membelinya, terlebih lagi di saat-saat krisis keuangan seperti ini.Â