Mohon tunggu...
Carlos Alfin
Carlos Alfin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Be yourself and never surender

Selanjutnya

Tutup

Financial

Larangan Riba, Hoaks atau Fakta?

11 Juli 2020   00:24 Diperbarui: 11 Juli 2020   00:38 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

MAKALAH
MAQASHID BISNIS

STEI SEBI
Jl. Raya Bojongsari, Pondok Rangga, Sawangan, Depok City, West Java 16517
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita kehadirat Allah Swt karena rahmat dan karunia-Nya, serta hidayah-Nya kami dapat mengerjakan dan menyelesaikan makalah Maqashid Syariah dengan pembahasan "Maqashid Khassah (Maqashid Khusus) Ketentuan Ekonomi Syariah" berikut ini hanya pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki.
Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW serta keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku ummatnya hingga akhir zaman.
Terimakasih kami ucapkan kepada guru kami selaku pada mata kuliah Maqashid Bisnis  yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah pengetahuan kita mengenai pembahasan "Maqashid Khassah (Maqashid Khusus) Ketentuan Ekonomi Syariah"  . Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini memiliki banyak kekurangan dan jauh dari apa yang diharapkan.
Kami sangat berharap makalah yang telah kami rangkai dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya, dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata atau penulisan dan kritik, saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 28 Maret 2020

Penyusun

Daftar Isi
KATA PENGANTAR2
BAB 1 PENDAHULUAN6
1.1.Latar Belakang6
1.2.Rumusan Masalah7
1.3.Tujuan Pembahasan7
1.4.Manfaat Penulisan7
BAB 2 PEMBAHASAN8
2.1.Maqashid Pelarangan Riba dalam Surat 'Ali Imran Ayat 1308
2.2.Maqashid Pelarangan Riba dalam Surat Al Baqarah Ayat 2758
2.3.Maqashid Perbedaan Antara Jual Beli dan Riba9
2.4.Maqashid Larangan Riba Qardh10
2.5. Maqashid Larangan Riba Buyu'11
2.6. Maqashid Larangan Praktik Talaqqi Rukban13
2.7. Maqashid Larangan Gharar13
2.8. Maqashid  dalam Hadis tentang Gharar14
2.9. Maqashid Larangan Bai' al-'Inah16
2.10. Maqashid dalam Perbedaan Ulama tentang Bai' al-'inah17

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
       Al-Qur'an mengandung konsep hukum yang unik. Sebagai hukum Tuhan, konsep hukum dalam Al- Qur'an tentunya memiliki karakteristik yang ideal dalam mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Demikian juga hadis sebagai bahan (penjelas) terhadap al-Qur'an mengandung aturan- aturan hukum syariah yang pada dasarnya mengarah kepada kepentingan manusia. Dalam konteks ini munculnya tudingan dari sementara pihak- baik dari kalangan non-muslim mau pun dari kalangan umat Islam sendiri- bahwa hukum syariah mengabaikan kemanusiaan sehingga cenderung tidak manusiawi bahkan kejam masih perlu diperdebatkan.
Syariat Islam adalah ajaran-ajaran Ilahi yang disampaikan kepada manusia lewat wahyu. Dengan demikian, hukum-hukum yang dikandung syariat Islam bukanlah berasal dari pemikiran manusia semata. Pemikiran manusia maksimal hanya berfungsi memahami kandungan syariat, atau menemukan tafsirannya serta cara penerapannya dalam kehidupan, tetapi syariat itu sendiri  berasal dari Allah. Oleh karena itu syariat Islam tidak dapat dilepaskan dari landasan filosofis imani.
Di samping itu syariat Islam mempunyai satu kesatuan sistem yang menjadikan dalil-dalil syariat itu berada dalam satu jalinan yang utuh, tak terpisahkan, dan antara satu dengan lainnya saling mendukung, serta dalil yang satu berfungsi sebagai penjelasan bagi dalil yang lain.
Bertolak dari prinsip dari kesatuan dalil tersebut maka pemahaman terhadap syariat Islam tidak cukup hanya berdasarkan tekstualnya namun harus juga memperhatikan spirit (tujuan serta rahasia) syariat itu sendiri, sehingga syariat Islam dapat menjadi rahmat yang membawa hikmah yang besar bagi umat manusia. Memang di dalam al-Qur'an sendiri terdapat sekitar 500 ayat yang sifatnya mutlak, kekal dan tidak dapat diubah. Namun perincian dari ajaran pokok tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan, waktu dan tempat, sehingga Islam salihun likulli zaman wa makan.
Selaras dengan uraian diatas, setiap mujtahid haruslah mengetahui ruh syariat yang menempatkan manusia sebagai ciptaan Allah dan menjalani hidup didunia dalam kapasitasnya untuk mengabdi kepada Allah,dengan jalan mengetahui maqashid, tujuan syar'i menurunkan syari'at kepada manusia.

1.2. Rumusan Masalah
       Apa itu Maqashid Khassah (Maqashid Khusus) Ketentuan Ekonomi Syariah
Apa saja Maqashid Khassah dan penjelasannya


1.3. Tujuan Pembahasan
        Memahami apa itu Maqashid Khassah (Maqashid Khusus) Ketentuan Ekonomi Syariah
Memahami Apa saja Maqashid Khassah dan penjelasannya


1.4. Manfaat Penulisan
       Hasil makalah ini dapat dijadikan sumber informasi
Hasil makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman penulis tentang Maqashid Khassah (Maqashid Khusus) Ketentuan Ekonomi Syariah

BAB 2
PEMBAHASAN


2.1. Maqashid Pelarangan Riba dalam Surat 'Ali Imran Ayat 130
       Allah Swt. menegaskan bahwa riba adalah terlarang dan diharamkan dalam islam, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Quran, diantaranya firman Allah Swt.:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Ali 'Imran [3] : 130)
Tafsir atau makna ayat ini menjelaskan tentnag hukum riba yang diharamkan dalam islam, maka setiap pemanfaatan, konsumsi dan penggunaan riba yang berlipat-lipat itu dilarang dalam islam.
Maqashid yang ingin dicapai dalam larangan riba tersebut adalah mengajak manusia untuk memiliki empati dan kepedulian social (muwasat) dan menjauhkan diri dari praktik ribawi yang mengambil hak milik orang lain secara tidak halal.

2.2. Maqashid Pelarangan Riba dalam Surat Al Baqarah Ayat 275 Allah Swt. berfirman :
       "Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud riba dalam ayat diatas, sebagian ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Muawiyah berpendapat bahwa maksud riba dalam ayat diatas adalah riba menurut arti bahasa yaitu riba jahiliyah (riba qardh).
Sedangkan menurut mayoritas ulama, maksud riba dalam ayat diatas adalah riba dalam jual beli. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Abi Said al-Khudri, dll.
Ibnu 'Asyur merajihkan (mengunggulkan) pendapat yang mengatakan bahwa maksud riba dalam ayat diatas adalah riba jahiliyah sesuai dengan dalil-dalil berikut :
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
Yang dimaksud dengan riba dalam ayat diatas adalah riba jahiliyah, sedangkan riba jual beli dijelaskan dalam dalil-dalil lain.
- Maqshad dalam hadis Rasulullah Saw. :
  Ibnu Abbas berdalil dengan hadis yang diriwayatkan oleh Usamah, Rasulullah Saw. bersabda :
"Sesungguhnya riba terjadi pada riba nasiah" (Hadis Shahih Muslim, kitab Buyu', bab bai' tho'am mitslan bi mitslin 5/50)
 - Maqshad dalam hadis Rasulullah Saw. :
   "Ayat terakhir yang Allah Swt. turunkan kepada Rasulullah Saw. Adalah ayat riba.  Rasulullah belum menjelaskan ayat riba hingga beliau wafat..."
Menurut Ibnu Asyur, yang dimaksud sahabat Umar ra. Bukan berarti makna riba itu masih mujmal (umum), tetapi maksudnya penerapan ketentuan hukum riba dalam praktik-praktik bisnis itu masih belum jelas karena Rasulullah belum menjelaskan hukumnya.
        - Hadis Aisyah
"Aisyah berkata : Ketika ayat-ayat riba diakhir surat Al Baqarah itu turun, maka dibacakan oleh Rasulullah Saw, kemudia Rasulullah Saw., mengharamkan berbisnis khamr" (Shahih Bukhari, kitab al-Buyu')
Karena masa Rasulullah dekat dengan masa jahiliyah dan kebiasaannya, termasuk riba jahiliyah dan karena dikhawatirkan beberapa praktik jual beli menjadi riba jahiliyah, maka beberapa bentuk jual beli tersebut diharamkan.

2.3. Maqashid Perbedaan Antara Jual Beli dan Riba
Allah Swt. berfirman :
       "Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
Dalam ayat ini Allah Swt.membedakan antara ayat jual beli dan riba. Perbedaan antara jual beli adalah perbedaan antara kondisi pembeli dan peminjam, untuk menutupi hajat dirinya dan keluarganya.
Sedangkan pembeli melakukan transaksi ini karena ada kelebihan harta.
Jadi, pembeli itu indikator dari kecukupan sedangkan peminjamitu indikator dari kefakiran. Oleh karena itu, Allah mengharamkan riba karena mengeksploitasi hajat orang fakir dan sebaliknya Allah menghalalkan jual beli untuk membantu orang yang membutuhkan


2.4. Maqashid Larangan Riba Qardh
         Riba qardh (riba jahiliyah/riba nasi'ah) itu diharamkan menurut Al Quran. Oleh karena itu, seluruh ulama tanpa kecuali telah sepakat bahwa riba al-qard itu diharamka dalam islam.
Banyak dalil yang menegaskan tentang keharaman ini, diantaranya ayat-ayat Al Quran :
"Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 275)
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 278)
Berdasarkan dalil-dalil diatas yang shahih dan sharih (jelas dan tegas) menunjukkan bahwa riba qardh (riba jahiliyah/riba nasiah) ini termasuk tsawabit dan qath'iyat (hal yang prinsipil dan pundamen) dalam agama ini.
Riba qardh adalah riba yang terjadi pada transaksi utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama biaya (al-kharraj bidh dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.
Larangan riba qardh ini memiliki maqashid yaitu :
Pertama, menghindarkan terjadi praktek kezaliman terhadap pelaku bisnis karena dalam qard, al-ghunmu (untung) muncul tanpa adanya al-ghurmu (risiko), hasil usaha (al-kharraz) muncul tanpa adanya biaya (dhamman) ; al gunmi dan al-kharraz muncul hanya dengan berjalannya waktu.
Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang diluar wewenangmanusia adalah bentuk kezaliman. Padahal justru itulah yang terjadi dalam riba nasi'ah, yakni terjadi perubahan sesuatu yang seharusnya uncertain ( tidak pasti) menjadi certain (pasti).
Seseungguhnya keadaan al-ghunmu bila ghurmin (gaining return without being responsible for any risk) dan al-kharraz bi la dhaman (gaining income without being responsible for any expenses) ditolak oleh teori finance, yaitu dengan menjelaskan adanya hubungan antara risk dan retur, bukankah return goes a long with risk?
Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of  liability) ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak dan pihak-pihak lain.
Jadi, menggunakan tingkat bunga untuk suatu pinjaman merupakan tindakan yang memastikan  sesuatu yang tidak pasti, karena itu diharamkan.
Kedua, riba jahiliah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah 'kullu qardhin jarra manfa'atan fahua riba' (setiap pinjaman yang memberikan manfaat kepada kreditor adalah riba.
Dalam perbankan konvensional, riba nasi'ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito,tabungan,giro dan lain-lain. Bank sebagai kreditor yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarannya tetap dan ditentukan dahulu diawal transaksi (fixed and predetermind rate). Padahal nasabah yang mendapatkan pinjaman ini tidak mendapatkan keuntungan yang fixed and predetermind juga, karena dalam bisnis selalu ada kemungkinan rugi, impas atau untung, yang besarnya tidak dapat ditentukan dari awal.
Memberikan pinjaman adalah transanksi kebaikan (tabarru), sedangkan meminta kompenasi adalah transanksi bisnis (mu'awadhah). Jadi, transanksi yang dari semula diniatkan sebagai transanksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transanksi  bermotif bisnis.
Misalnya si A meminjamkan uang 1 juta kepada si B, dengan kesepakatan si B akan membayar 1 juta 500 ribu rupiah. Uang 500 ribu rupiah yang dibayarkan itu adalah riba qardh, karena terjadi dalam transanksi simpan pinjam.
Ketiga, mencegah para rentenir membuat zalim kepada penerima pinjaman karena praktik riba berarti pemberi pinjaman mengeksploitasi penerima pinjaman dengan meminta bunga atas pinjaman yang diberikan.


2.5. Maqashid Larangan Riba Buyu'
        Riba qardh itu diharamkan dengan dalil yang qathiyu dilalah dan dengan konsesus ijma' para ulama, seballiknya, riba buyu' ini berbeda dalam status hukumnya dimana para ulama berbeda pendapat tentang status hukum riba buyu' ini. Perbedaan mereka bersumber dari perbedaan mereka tentang 'illat barang-barang ribawi.
Rasulullah Saw., menjelaskan pertukaran barang ribawi dalam beberapa hadisnya, diantaranya :
"Ubadah Bin ash Shomit ra. Meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw., bersabda : (penukaran) antara emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, korma dengan korma, garam dengan garam itu harus sama dan dibayar kontan. Jika berbeda (penukaran) barang diatas, maka jumlah barang tersebut sekehendak kamu sekalian dengan syarat dibayar kontan." (HR Ahmad)
Jika kita telaah, hadis diatas menjelaskan tentang dua kelompok barang-barang ribawi (amwal ribawiyat) kelompok pertama adalah mata uang atau uang, kelompok kedua adalah makanan.
Kemudian para ulama berbeda-beda menentukan 'illat kedua jenis barang ribawi tersebut. Namun dalam penjelasan para ulama kontemporer, bila disimpulkan bahwa pendapat yang kuat yaitu sebagai berikut :

a)'illat jenis mata uang adalah tsamaniyah (keberadaannya sebagai barang berharga). Penulis memahami bahwa pendapat ini logis, karena emas dan perak yang dicontohkan dalam hadis diatas adalah mata uang yang berlaku ketika itu dalam hadis diatas adalah mata uang yang berlaku ketika itu (yang berupa emas dan perak). Maka mata uang rupiah, emas yang dijual ditoko-toko emas adalah barang-barang ribawi.

B) 'illat jenis makanan adalah tho'm maksudnya setiap jenis makanan walaupun bukan makanan pokok dan tidak menguatkan. Maka makanan roti, beras termasuk barang-barang ribawiyat


Riba buyu' adalah riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang berbeda kualitas, atau kuantitasnya atau  berbeda waktu penyerahannya (tidak tunai).
Riba buyu' disebut juga riba fadhl, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitas (mitslan bi mitslin) sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa.a-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin).
Keharaman ribal buyu' memiliki maqashid (tujuan) yaitu menghindarkan gharar dalam transanksi jual beli  karena jual beli atau pertukaran semacam ini mengandung gharar, yaitu ketidakadilan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan .
Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak dan pihak-pihak lain. Selanjutnya tindakan zalim bisa menimbulkan konflik dan permusuhan.
Maqashid lain adalah agar uang tidak dijadikan komoditas yang diperjualbelikan sehingga uang melahirkan uang dan tidak melahirkanuang dan tidak melahirkan barang. Uang sesuai fungsinya menjadi alat tukar dalam sirkulasi barang dan jasa.
Maqashid tersebut sejalan dengan pandangan ekonomi, karena riba dapat dipandang sebagai transaksi yang bersifat eksploitatif karena mengambil untung besar secara tidak wajar. Riba juga dapat diartikan sebagai sebuah transaksi yang mengandung information asymmetry atau kondisi lain yang berakibat pada posisi tawar menawar yang tidak seimbang, sehingga salah satu pihak (pembeli atau penjual) berada dalam keadaan terpaksa atau tak berdaya sehingga akan menerima apa pun yang ditetapkan oleh pihak lain dalam transaksi itu.


2.6. Maqashid Larangan Praktik Talaqqi Rukban
        Rasulullah Saw. Menegaskan bahwa talaqqi rukban adalah terlarang dan diharamkan sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw :
"Rasulullah Saw. Melarang praktik talaqqi rukban"
Ar-rukban dalam hadis diatas adalah pihak yang mengimpor barang sedangkan lafadz talaqqihim itu maksudnya pihak yang menemui penjual komoditi dan membelinya dari mereka sebelum penjual tersebut masuk pasar.
Praktik talaqqi rukban mengakibatkan supplay dan demand tidak bertemu sehingga tidak terjadi pasar yang sehat yang bisa menentukan harga dengan adil.


2.7. Maqashid Larangan Gharar
        Menurut ahli fikih, gharar adalah sifat dalam muamalah yang menyebabkan sebagian rukun nya tidak pasti (mastur al-'aqibah).
Secara operasional, gharar bisa diartikan; keduan belah pihak dalam transanksi tidak memiliki kepastian terhadap barang yang menjadi objek transanksi baik terkait kualitas,kuantitas,harga,dan waktu penyerahan barang, sehingga pihak kedua dirugikan.
Gharar ini terjadi bila mengubah sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Di antara conroh praktik gharar adalah sebagai berikut:

a) Gharar dalam kualitas, seperti penjual yang menjual anak sapi yang masih dalam kandungan.
b) Gharar dalam kuantitas, seperti dalam kasusu ijon.
c) Gharar dalam harga (gabn), seperti murabahah rumah 1 tahun dengan margin 20% atau murabahah rumah 2 tahun dengan margin 40%.
d) Gharar dalamwaktu penyerahan,seperti menjual barang yang hilang.

Gharar hukumnya dilarang dalam syariat islam, oleh karena itu melakukan transanksi atau memberikan syarat dalam akad yang ada unsur gharar nya itu hukumnya tidak boleh sebagaimana hadis Rasulullah Saw.
"Rasulullah Saw. melarang jual beli yang mengandung gharar".
Imam nawawi menjelaskan bahwa hadis ini menjelaskan prinsip penting dalam hal bab muamalah (bisnis) yang mengatur masalah-masalah yang tidak terbatas.
Larangan gharar yang memiliki tujuan (maqshad) sebagaimana dijelaskan dalam substansi gharar diatas, bahwa keempat transanksi dalam contoh diatas itu termasuk gharar, karena objek akadnya tidak pasti ada dan tidak pasti diterima pembeli atau harga dan uang tidak pasti diterima penjual sehingga tujuan pelaku akad melakukan transansi menjadi tidak tercapai.
Padahal pembeli bertransanksi untuk mendapatkan barang yang tanpa cacat dan sesuai keinginan, begitu pula penjualbertransanksi untuk mendapat keuntungan. Oleh karena itu, kondisi ini merugikan salah satu atau seluruh pelaku akad dan sangat mungkin menimbulkan perselisihan dan permusuhan..
Sesungguhnya, setiap transanksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada suatu yang unknow to one party.
Dalam keempat bentuk gharar diatas, keadaan sama-sana rela yang dicapai bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi kedua belah pihak. Dikemudian hari, yaitu ketika keadaannya telah jelas, salah satu pihak (penjual/pembeli) akan merasa terzalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.


2.8. Maqashid  dalam Hadis tentang Gharar
        Rasulullah Saw.,menegaskan bahwa gharar adalah terlarang dan diharamkan islam sebagaimana hadis Rasulullah Saw.:
"Rasulullah Saw., melarang bai al-gharar dan bai' al-hashah" (HR Bukhari Muslim)
Dalam hadis diatas Rasulullah Saw., melarang bai al-gharar dan bai' al-hashah. Hadis tersebut memberikan contoh menjual buah yang  belum tampak buahnya.
Jika kita memahami hadis ini secara tekstual, maka beberapa praktik  jual beli yang sebenarnya boleh itu menjadi terlarang seperti menjual biji-bijian yang ada didalam tanah. Padahal gharar yang dimaksud dalam hadis ini adalah gharar dalam barang yang bisa dihitung.


2.9. Maqashid Larangan Bai' al-'Inah
        Para ulama menafsirkan bai' al-'inah tersebut sebagai berikut :
Bai' al-'inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Bai' al-'inah bisa didefinisikan dari aspek pembeli dan dari aspek penjual. Dari aspek pembeli, bai' al-'inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Sedangkan dari aspek penjual, bai' al-'inah adalah seseorang menjual barang secara tunai dengan kesepakatan akan membelinya kembali dari pembeli yang sama dengan harga yang lebih kecil secara tidak tunai.
Bai al-'inah termasuk transaksi yang dilarang, sesuai dengan hadis Rasulullah Saw.:
"Ibu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda : "Apabila manusia kikir akandinar dan dirham, melakukan jual beli 'inah, mengikuti ekor-ekor sapid an meninggalkan jihad dijalan Allah Swt. akan menurunkan musibah dan tidak akan menarik kembali kecuali mereka kembali komitmen dengan agama mereka."(HR Imam Ahmad)
Larangan tersebut memiliki maqashid yaitu menghindarkan transaksi hilah ribawiyah (manipulasi) untuk melakukan riba yang terlarang atau praktik simpan pinjam berbunga dengan modus jual beli seperti yang dijelaskan dalam standar syariah AAOIFI :
"tidak termasuk dalam hilah ribawiyah, seperti bai' al-'inah atau hilah ribawiyah"
Contoh  A menjual barang  x seharga Rp 120 juta secara cicilan kepada , dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang x tersebut kepada A secara tunai seharga 100 juta.
Transaksi diatas haram karena  ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan  B kembali menjual barang tersebut efektif  bila akad 2 dilakukan. Persyaratan ini mencegah terpenuhinya rukun dan jual beli.

2.10. Maqashid dalam Perbedaan Ulama tentang Bai' al-'inah
        Bai al-'inah termasuk transaksi yang dilarang sebagimana ditegaskan oleh mayoritas sahabat, tabi'in, hanafiyah, malikiyah, dan hanbilah, sebagaimana penegasan mereka :
Al-Marghinani, salah seorang ulama mazhab hanafi menjelaskan :
Al-Marghinani berkata : Dan barangsiapa yang membeli seorang hamba sahaya 1000 dirham, baik tunai maupun tidak tunai. Setelah diterimanya (qabdh), kemudian ia menjualnya kembali kepada penjual (pertama) seharga  500  sebelum harga akad yang pertama dibayar tunai, maka akad jual beli yang kedua itu hukumnya tidak boleh"
Ad- Dardiri, salah seorang ulama mazhab maliki menjelaskan :
 Ad-Dardiri berkata: (Bai' al-'inah) itu zahirnya boleh, tetapi menyebabkan kepada hal yang dilarang, maka jual beli ini dilarang, walaupun pelaku akad tidak bertujuan untuk melakukan hal terlarang, sesuai dengan prinsip sad adz-dzariah."

No.
Mazhab
Bai' Al-'Inah
Alasan

1
Hanafiyah
Haram
Hilah ribawiyah

2
Malikiyah
Haram
Hilah ribawiyah

3
Syafiiyah
Makruh
Al-ibratu bil alfadz la bil maqashid

4
Hanabilah
Haram
Hilah ribawiyah

Jazakumullahu Khairan Katsiran

Disusun oleh :
Fadiah Hapsari Idwanto41903092

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun