1. Maqashid Larangan Praktik Talaqqi Rukban
 Rasulullah Saw. Menegaskan bahwa talaqqi rukban adalah terlarang dan diharamkan sebagaimana dalam hadis Rasulullah Saw :
"Rasulullah Saw. Melarang praktik talaqqi rukban"
 Ar-rukban dalam hadis diatas adalah pihak yang mengimpor barang sedangkan lafadz talaqqihim itu maksudnya pihak yang menemui penjual komoditi dan membelinya dari mereka sebelum penjual tersebut masuk pasar.
 Praktik talaqqi rukban mengakibatkan supplay dan demand tidak bertemu sehingga tidak terjadi pasar yang sehat yang bisa menentukan harga dengan adil.
2. Maqashid Larangan Gharar
   Menurut ahli fikih, gharar adalah sifat dalam muamalah yang menyebabkan sebagian rukun nya tidak pasti (mastur al-'aqibah).
   Secara operasional, gharar bisa diartikan; keduan belah pihak dalam transanksi tidak memiliki kepastian terhadap barang yang menjadi objek transanksi baik terkait kualitas,kuantitas,harga,dan waktu penyerahan barang, sehingga pihak kedua dirugikan.
   Gharar ini terjadi bila mengubah sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Di antara conroh praktik gharar adalah sebagai berikut:
Gharar dalam kualitas, seperti penjual yang menjual    anak sapi yang masih dalam kandungan.
Gharar dalam kuantitas, seperti dalam kasusu ijon.
Gharar dalam harga (gabn), seperti murabahah        rumah 1 tahun dengan margin 20% atau murabahah   rumah 2 tahun dengan margin 40%.
Gharar dalamwaktu penyerahan,seperti menjual      barang yang hilang.
Gharar hukumnya dilarang dalam syariat islam, oleh karena itu melakukan transanksi atau memberikan syarat dalam akad yang ada unsur gharar nya itu hukumnya tidak boleh sebagaimana hadis Rasulullah Saw.
"Rasulullah Saw. melarang jual beli yang mengandung gharar".
Imam nawawi menjelaskan bahwa hadis ini menjelaskan prinsip penting dalam hal bab muamalah (bisnis) yang mengatur masalah-masalah yang tidak terbatas.
Larangan gharar yang memiliki tujuan (maqshad) sebagaimana dijelaskan dalam substansi gharar diatas, bahwa keempat transanksi dalam contoh diatas itu termasuk gharar, karena objek akadnya tidak pasti ada dan tidak pasti diterima pembeli atau harga dan uang tidak pasti diterima penjual sehingga tujuan pelaku akad melakukan transansi menjadi tidak tercapai.
Padahal pembeli bertransanksi untuk mendapatkan barang yang tanpa cacat dan sesuai keinginan, begitu pula penjualbertransanksi untuk mendapat keuntungan. Oleh karena itu,
kondisi ini merugikan salah satu atau seluruh pelaku akad dan sangat mungkin menimbulkan perselisihan dan permusuhan..
Sesungguhnya, setiap transanksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada suatu yang unknow to one party.
Dalam keempat bentuk gharar diatas, keadaan sama-sana rela yang dicapai bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi kedua belah pihak. Dikemudian hari, yaitu ketika keadaannya telah jelas, salah satu pihak (penjual/pembeli) akan merasa terzalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.
3. Maqashid  dalam Hadis tentang Gharar
         Rasulullah Saw.,menegaskan bahwa gharar adalah terlarang dan diharamkan islam sebagaimana hadis Rasulullah Saw.:
"Rasulullah Saw., melarang bai al-gharar dan bai' al-hashah" (HR Bukhari Muslim)
   Dalam hadis diatas Rasulullah Saw., melarang bai al-gharar dan bai' al-hashah. Hadis tersebut memberikan contoh menjual buah yang  belum tampak buahnya.
   Jika kita memahami hadis ini secara tekstual, maka beberapa praktik  jual beli yang sebenarnya boleh itu menjadi terlarang seperti menjual biji-bijian yang ada didalam tanah. Padahal gharar yang dimaksud dalam hadis ini adalah gharar dalam barang yang bisa dihitung.
4. Maqashid Larangan Bai' al-'Inah
Para ulama menafsirkan bai' al-'inah tersebut sebagai berikut :
Bai' al-'inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Bai' al-'inah bisa didefinisikan dari aspek pembeli dan dari aspek penjual. Dari aspek pembeli, bai' al-'inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Sedangkan dari aspek penjual, bai' al-'inah adalah seseorang menjual barang secara tunai dengan kesepakatan akan membelinya kembali dari pembeli yang sama dengan harga yang lebih kecil secara tidak tunai.
Bai al-'inah termasuk transaksi yang dilarang, sesuai dengan hadis Rasulullah Saw.:
"Ibu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda : "Apabila manusia kikir akandinar dan dirham, melakukan jual beli 'inah, mengikuti ekor-ekor sapid an meninggalkan jihad dijalan Allah Swt. akan menurunkan musibah dan tidak akan menarik kembali kecuali mereka kembali komitmen dengan agama mereka."(HR Imam Ahmad)
Larangan tersebut memiliki maqashid yaitu menghindarkan transaksi hilah ribawiyah (manipulasi) untuk melakukan riba yang terlarang atau praktik simpan pinjam berbunga dengan modus jual beli seperti yang dijelaskan dalam standar syariah AAOIFI :
"tidak termasuk dalam hilah ribawiyah, seperti bai' al-'inah atau hilah ribawiyah"
Contoh  A menjual barang  x seharga Rp 120 juta secara cicilan kepada , dengan syarat bahwa B harus kembali menjual barang x tersebut kepada A secara tunai seharga 100 juta.
Transaksi diatas haram karena  ada persyaratan bahwa A bersedia menjual barang X ke B asalkan  B kembali menjual barang tersebut efektif  bila akad 2 dilakukan. Persyaratan ini mencegah terpenuhinya rukun dan jual beli.
5. Maqashid dalam Perbedaan Ulama tentang Bai' al-'inah
Bai al-'inah termasuk transaksi yang dilarang sebagimana ditegaskan oleh mayoritas sahabat, tabi'in, hanafiyah, malikiyah, dan hanbilah, sebagaimana penegasan mereka :
Al-Marghinani, salah seorang ulama mazhab hanafi menjelaskan :
Al-Marghinani berkata : Dan barangsiapa yang membeli seorang hamba sahaya 1000 dirham, baik tunai maupun tidak tunai. Setelah diterimanya (qabdh), kemudian ia menjualnya kembali kepada penjual (pertama) seharga  500  sebelum harga akad yang pertama dibayar tunai, maka akad jual beli yang kedua itu hukumnya tidak boleh"
Ad- Dardiri, salah seorang ulama mazhab maliki menjelaskan :
 Ad-Dardiri berkata: (Bai' al-'inah) itu zahirnya boleh, tetapi menyebabkan kepada hal yang dilarang, maka jual beli ini dilarang, walaupun pelaku akad tidak bertujuan untuk melakukan hal terlarang, sesuai dengan prinsip sad adz-dzariah."
1. Â Mazhab : Hanafiyah
   Bai' Al-'Inah : Haram
   Alasan : Hilah ribawiyah
2. Mazhab : Malikiyah
   Bai' Al-'Inah : Haram
   Alasan : Hilah ribawiyah
3. Â Mazhab : Syafiiyah
   Bai' Al-'Inah : Makruh
   Alasan : Al-ibratu bil alfadz la bil maqashid
4. Â Mazhab : Hanabilah
   Bai' Al-'Inah : Haram
   Alasan : Hilah ribawiyah
By : Farida Shafiyyah Qona'ati