Mohon tunggu...
Carla Listiarini
Carla Listiarini Mohon Tunggu... Sales - Indonesia

Content Editor, Ordinary

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT: Perlu dibela? Atau.. ?

1 Juli 2015   06:17 Diperbarui: 4 Februari 2016   09:19 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah isu yang cukup trending saat ini, sejak Amerika mengesahkan pernikahan sesama jenis ini. hastag celebrate pride  juga turut bertebaran dari facebook, twitter, hingga kompasiana. Tapi, bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini?

Terlepas dari hal-hal yang mengatas namakan agama, secara logika bukankah memang aneh? Laki-laki menikah bersama laki-laki? perempuan dengan perempuan? Dan lagi, kalau memang laki-laki diperuntukkan untuk bersatu dan hidup bersama dengan laki-laki kenapa ada perempuan?? Melihat dari pandangan seksologi, apakah bisa laki-laki benar-benar 'bersatu' dengan sesama jenisnya? Dari pelajaran biologi pun, setidaknya kita tahu kenapa wanita dan laki-laki dapat bersatu dari bentuk fisik alat reproduksi masing-masing.

Dikatakan bahwa adalah kodrat manusia untuk bereproduksi. Pasangan homoseksual dengan pasti mengatakan mereka bisa saja mengadopsi anak. Bukankah ini juga hal yang mulia? Ada orang yang 'mem-buang buang' anak, kami (si pasangan homoseksual ini) yang merawat dan mengasuhnya? Namun, apakah pernah terpikir dampak psikologis terhadap anak yang diasuh (Lihat http://thefederalist.com/2015/03/17/dear-gay-community-your-kids-are-hurting/)? Bagaimana dengan tekanan lingkungan sosial? Tidak semua orang mampu memahami dan tidak semua anak diajarkan untuk memahami situasi anak lain, sehingga pada akhirnya sang anak dari pasangan homoseksual pun mungkin jadi korban('bully?'). Peran ibu dan ayah sebagai orang tua sudah pasti berbeda, mau dibilang ibu juga bisa berperan sebagai ayah. Jelas hal ini tidak bisa diterima, dalam ilmu anatomi pun, membandingkan otak wanita dengan otak pria, susunan sistem saraf maupun hormon sudah jelas berbeda. Akhirnya, 'produk' karakter dan sifat pun juga beda. Dengan kata lain, pria dan wanita punya perannya masing-masing.

Tapi, biar bagaimanapun juga homoseksual bukanlah pilihan. Satu hal yang perlu digaris bawahi dan dimaklumi (tapi bukan untuk ditiru). Homoseksual didefinisikan sebagai orientasi seksual yang tertarik pada sesama jenis. Menurut tulisan mba Winda dalam blognya, dari segi ilmiah homoseksual terjadi karena kelainan kromosom, hormon, struktur otak dan saraf. Dalam segi psikologi pun sudah lama diperdebatkan: apakah homoseksualitas termasuk kelainan mental atau bukan?. Johnson dalam artikelnya pada tahun 2003 mengatakan bahwa homoseksual disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor lingkungan, kognitif, dan anatomi yang membentuk individu sejak usia dini. Selain itu, yang pasti sebuah studi menyatakan bahwa homoseksualitas dapat diturunkan. Dengan kata lain, kita memang tidak bisa memilih struktur hormon atau otak yang kita mau, atau tumbuh dilingkungan seperti apa bukan? 

Walaupun demikian, mendukung atau tidak itu bukanlah hal yang utama. Bukankah sebagai generasi penerus bangsa ini kita seharusnya lebih memikirkan bagaimana kita bisa turut membangun bangsa ini? Tidak perlu berpikir mengenai hal besar, seperti mengadakan proyek amal untuk membangun fasilitas air atau mendirikan sekolah didesa tertinggal. Cukup dari hal kecil, seperti buang sampah pada tempatnya. Hal kecil ini saja sudah turut berkontribusi menjaga 'keindahan' lingkungan di negara kita tercinta ini. Atau.. cukup melihat diri sendiri. Bagaimana kontribusi diri kita pribadi terhadap lingkungan, positif? negatif?

Atau sebagai anak muda(dilema umum dewasa muda usia 20++), apakah mimpi kita sudah tercapai sepenuhnya? Sudah sejauh mana langkah kita meraih mimpi? Atau bahkan apakah kita benar-benar tahu apa cita-cita kita sebenarnya? Apakah kita sudah tahu apa tujuan hidup ini? Mau jadi apakah kita setidaknya 5 tahun lagi (tipikal pertanyaan interview kerja.. haha)?? 

Seperti disebutkan diatas, LGBT mungkin bukan pilihan. Namun, hal lain yang perlu diingat adalah terlepas dari LGBT atau tidak, membela atau tidak, menyakiti orang lain sudah pasti salah. Karma pasti ada. Jangan menghakimi jika tidak mau dihakimi, jangan menyakiti kalau tidak mau disakiti.  

 

 

Referensi:

http://windadwifirlyana.blogspot.co.uk/2012/03/fenomena-kesehatan-mental-homoseksual.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun