Mohon tunggu...
Carissa Nabila Harijadi
Carissa Nabila Harijadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keberadaan Oposisi dan Koalisi Pasca Pemuli 2019 sebagai Upaya Mewujudkan Demokrasi di Indonesia

14 April 2022   14:53 Diperbarui: 18 April 2022   20:04 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perjalanan mengenai partai politik di Indonesia sebetulnya sudah dimulai ketika masa kolonialisme Belanda. Meskipun keberadaannya naik turun akibat keberadaan partai politik yang dicap sebagai pengganggu aktivitas pemerintahan, namun semangat dalam menjalankan partai politik itu sendiri masih terus ada pada masa pasca kemerdekaan ketika Indonesia menerapkan sistem parlementer. Perlu kita ingat bahwa pemilu di Indonesia pertama kali terjadi di tahun 1955 ketika Indonesia menerapkan sistem parlementer dan pada saat itu, partai politik yang mengikuti pemilu memiliki jumlah yang cukup banyak yakni sebanyak 172 partai dan organisasi. Meskipun suara terbesar ada pada 4 partai yakni PNI, PKI, Masyumi, dan Nahdhlatul Ulama (NU)  tetapi dari banyaknya partai politik yang mengikuti pemilu tersebut kita dapat mengatakan bahwa sejak dahulu Indonesia telah menganut sistem kepartaian multipartai. Seperti yang kita semua telah ketahui, stabilitas politik di era tersebut masih jauh dari kata sempurna akibat serangan dari dalam maupun luar, sehingga keberadaan partai politik dalam pemilu belum bisa menjadi kekuatan besar bagi sistem politik di Indonesia sehingga keberadaan Masyumi sebagai oposisi pemerintah masih belum bisa stabil karena perjalanan rezim yang cukup kompleks, mengingat Soekarno memiliki beberapa kecenderungan terhadap Haluan politik tertentu sehingga keberadaan oposisi maupun koalisi masih belum maksimal.

Lengsernya Soekarno menandakan bahwa Orde Lama telah hilang dan mulai diberlakukannya Orde Baru oleh sang pemimpin, Soeharto. Banyaknya partai politik bawaan rezim Soekarno menyebabkan Soeharto mengambil langkah fusi partai politik, dengan menyederhanakan seluruh partai menjadi tiga partai besar yakni PDI, Golkar, dan PPP. Ketiga partai inilah yang menjadi peserta pemilu yang dipilih langsung oleh rakyat. Pola kekuasaan Soeharto yang cenderung otoriter menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat dalam politik dan terpusatnya politik pada area pemerintahan membuat kurang bisa bebasnya tiap masyarakat menentukan jalan politiknya sehingga keberadaan partai politik yang menjadi oposisi saat itu justru diberantas dan semakin dilihat seluruh partai menjadi koalisi bagi pemerintahan yang berjalan selama 32 tahun lamanya. Bentuk koalisi yang diminati lebih pada ekstra-parlementer yang terdiri dari berbagai kalangan masyarakat sipil sperti mahasiswa, ormas, dan lainnya. Sejalan dengan hal ini,  mengatakan bahwa oposisi kelas menengah dalam masa pemerintahan orde baru cenderung terkalahkan suaranya dengan tekanan yang diberikan oleh pemerintah 

Reformasi yang terjadi di Indonesia pasca penggulingan Soeharto merupakan suatu tanda legitimasi berdirinya demokrasi dalam seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Keterbukaan terhadap pendirian partai politik di Indonesia pada era reformasi mencirikan bahwa terbentuknya budaya politik baru dan berhasil memunculkan konsep oposisi-koalisi pada pemerintahan Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan pemilu. Munculnya multipartai secara ekstrem dengan perbedaan masing-masing ideologi setiap partai pada era reformasi ini membuka celah sebesar-besarnya bagi partai politik untuk membagi dirinya menjadi kelompok koalisi maupun oposisi untuk mengetahui posisi dirinya dalam suatu pemerintahan.

Perlu kita pahami bahwa penegakan demokrasi yang terlegitimasi pada awal era reformasi merupakan menjadi salah satu tanda bahwa dalam pemerintahan juga diperlukan kontrol serta check and balance yang baik agar tidak terjadinya penyimpangan kekuasaan oleh para pemegang jabatan dalam tiga lembaga pemerintahan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Untuk itu, kedudukan partai dalam menentukan jalan koalisi dan oposisi menjadi sangat penting. Koalisi merupakan suatu hal yang wajar untuk dilakukan dalam kontestasi politik, khususnya mendekati pemilu dalam suatu negara demokrasi yang bertujuan untuk menghimpun kekuatan yang dimiliki oleh partai-partai politik yang suaranya cenderung tidak dominan, yang kemudian menjadi satu syarat dari pemilu yakni suatu partai politik tidak dapat menjadi peserta tunggal untuk berkontestasi dalam pemilu sehingga koalisi ini juga dibentuk atas tujuan memperbesar peluang kemenangannya dalam partai politik yang didapatkan dari besar atau tidaknya mitra partai politik tersebut  Sama halnya dengan koalisi, oposisi memiliki peran yang tak kalah penting pada demokrasi, sebagai pihak yang bersebrangan dari pemerintah tentunya berperan dalam mengawal dan mengevaluasi tiap langkah yang diambil oleh pemerintah. Oposisi sendiri dapat diartikan sebagai pihak yang berada di luar pemerintah yang memiliki hak secara legal untuk menyuarakan pendapatnya dengan tujuan sebagai kontrol dan kritik dari seluruh langkah baik secara ideologis, kebijakan, dan kenyataan empiris yang diambil oleh pemerintah.  Maka menjadi penting bagi suatu partai untuk bergabung ke dalam kelompok dengan mempertimbangkan kesamaan visi misi maupun ideologi yang mendasari lahirnya partai tersebut dalam membangun demokrasi dan kemajuan bangsa. Hal ini menjadi suatu dasar utama bagi kita untuk bergerak ke pembahasan selanjutnya, dimana keberadaan oposisi dan koalisi yang ajeg menjadi suatu keharusan dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis.

Peta oposisi-koalisi seringkali terlihat ketika kontestasi politik secara berkala atau pada Pemilu yang dilaksanakan secara 5 tahun sekali. Sebagaimana dapat kita pahami, pemilu menjadi suatu intisari dari pemaknaan demokrasi itu sendiri, dan demokrasi akan lahir setelah keluarnya hasil pemilu yang melahirkan politikus-politikus yang mengisi jabatannya secara tepat (Noor, 2016). Hal ini juga berlaku bagi kemunculan oposisi-koalisi. Kita bisa melihat adanya kecenderungan-kecenderungan dari partai politik itu sendiri dalam menentukan kelompok mana yang akan diafiliasikan oleh mereka dalam tujuan tertentu. Tak terkecuali pada pemilu serentak 2019 lalu, yang mana menjadi tahun politik terpanas akibat dilaksanakannya pemilu serentak secara langsung dan panasnya hubungan oposisi-koalisi sehingga mampu melahirkan polarisasi yang cukup kuat di masyarakat. Pada pemilu 2019 silam, terdapat dua kubu yang cukup besar dan kuat dan turut memperebutkan kursi eksekutif. Kubu pertama berasal dari Koalisi Indonesia Kerja dengan mengusung pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai kubu petahana yang diusung oleh partai-partai politik seperti PDI-P, PKB, Golkar, PPP, Hanura, Nasdem yang didukung oleh Partai Perindo, PKP, dan PSI. Kubu kedua berasal dari koalisi Indonesia Adil Makmur dengan mengusung pasangan Prabowo-Sandi  sebagai kubu oposisi yang diusung oleh partai-partai politik seperti Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN dan didukung oleh Partai Berkarya. Polemik serta dinamika pra-pemilu menjadi sangat panas antara kedua kubu tersebut dengan berbagai isu dan strategi yang digunakan oleh kedua kubu tersebut, hal ini menurut saya seakan-akan mampu memetakan mereka menjadi “oposisi garis keras” dan “koalisi garis keras”. Persaingan antara kedua kubu ini menampilkan bahwa kedua kubu ini sungguh-sungguh dalam memperbutkan kursi eksekutif itu sendiri. Tak jarang perdebatan dan upaya-upaya saling menjatuhkan condong terlihat pada kedua belah kubu meskipun tetap berjalan sesuai dengan langkah demokratis.

Keluarnya hasil pemilu yang diumumkan oleh KPU dengan mengumumkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf dengan suara sebesar 55,50% dan suara Prabowo-Sandiaga sebesar 44,50%. Karena pemilu 2019 merupakan pemilu serentak, yang mana hal ini juga berimplikasi pada suara perolehan kursi parlemen oleh partai politik, dengan PDIP berhasil menjadi pemenang dengan total suara 19,33%, Golongan Karya mendapatkan 85 kursi parlemen, dan Gerindra yang mendapatkan 78 kursi parlemen. Kita dapat melihat bahwa baik pemenang dalam eksekutif maupun legislatif berasal dari kubu koalisi atau petahana, meskipun Gerindra sebagai oposisi terbesar juga mendapatkan kursi dalam peringkat ketiga. Hal ini memicu banyaknya respons dari pihak peserta kubu partai politik maupun masyarakat yang mendukung salah satu kubu, banyaknya aksi penolakan, penebaran berita di sosial media, menuding aksi kecurangan suara merupakan hal yang betul-betul terjadi yang dirasakan oleh pendukung kubu Prabowo-Sandi.

Menangnya Jokowi-Amin dalam kursi eksekutif mendorong banyak perubahan dalam struktur oposisi-koalisi. Pada awalnya, kubu oposisi mengalami fase penolakan terhadap hasil dan kerap terjadi perbedaan pendapat dari intra oposisi itu sendiri. Namun, kita perlu mengetahui bahwa politik merupakan hal yang dinamis. Kedinamisan partai politik ini dapat terlihat dari perpecahan oposisi itu sendiri dan banyaknya sinyal-sinyal perpindahan kubu dari oposisi ke koalisi sementara pihak koalisi tetap berada pada posisi awalnya. Hal seperti diatas merupakan hal yang menjadi tantangan bagi pemilu serentak itu sendiri, dimana kita dapat melihat bahwa harapan dari dilaksanakannya pemilu serentak merupakan dapat menjalankan hubungan koalisi jangka panjang, dengan kemungkinan terdapat perubahan mitra-koalisi suatu partai politik meskipun hal ini minim.

Seperti apa yang telah saya katakan sebelumnya, politik merupakan suatu hal yang dinamis. Tanpa kita semua kira, Jokowi menarik oposisi terbesar pada kursi pemerintahannya. Melihat dari terpilihnya Prabowo Subianto, rival politik Jokowi sejak tahun 2014 dari Gerindra tersebut dalam Kabinet Indonesia Maju menjadi Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo, sebagaimana Waketum Partai Gerindra, sebelum terjerat kasus korupsi lobster ditunjuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Peta politik kepengurusan Jokowi-Amin ini seakan-akan memberikan Gerindra “karpet merah” mengingat bahwa Gerindra merupakan simbol oposisi sejak lama. Panasnya suasana pemilu serentak 2019 dengan banyaknya isu-isu identitas yang tak jarang dilontarkan sendiri oleh Gerindra sebagai bentuk kritiknya terhadap koalisi Jokowi cenderung berkontradiksi dengan sikap Gerindra setelah adanya hasil pengumuman pemilu dan berhasil menjadi sorotan publik banyak sehingga banyak perdebatan yang juga terjadi di masyarakat.

Tidak cukup sampai situ, Partai Amanah Nasional (PAN) yang dikomandoi oleh Zulkifli Hasan juga secara resmi menjadi koalisi pemerintah. Semenjak komplotan Amien Rais tidak lagi menjabat sebagai elit partai, PAN perlahan mulai mengikuti ritme pemerintaha dan memberikan suatu sinyal bahwa dirinya akan bergabung pada koalisi dan sejalan dengan pemerintah. Meskipun PAN sebelumnya bukan merupakan oposisi terbesar layaknya Partai Gerindra, tetapi semua pihak pun tahu menjelang pemilu 2019 PAN berada di kursi oposisi dan mengusung Partai Gerindra. Bergabungnya PAN dalam koalisi pemerintah juga mnjadi sesuatu yang cukup panas dan menjadi sorotan mata publik, mengingat bahwa banyaknya kabar burung yang mengatakan bahwa bergabungnya PAN ini berkaitan dengan pemberian kursi Menteri pada politisi PAN. Hal ini menimbulkan banyak asumsi dari masyarakatnya sendiri dan pemaknaan oposisi menjadi suatu pertanyaan tersendiri.

Dengan masuknya PAN dan Gerindra ke dalam lingkaran pemerintah, hal ini menandakan bahwa partai oposisi di Indonesia saat ini hanya tersisa 2 partai, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).. Meskipun demikian, Demokrat dianggap sebagai partai “Oposisi Semu” akibat posisinya yang tidak pasti dalam memberikan suara meskipun pihak Demokrat tetap mendeklarasikan dirinya sebagai oposisi. Hal ini terlihat ketika Fahri Hamzah selaku Wakil Ketua Umum Partai Gelora, menilai bahwa oposisi yang terdapat di Senayan saat ini merupakan oposisi lemah. Meskipun hal itu ditepis oleh Demokrat, namun seringkali Demokrat sejalan dengan pemerintah dengan alibi “suara rakyat”. Namun demikian, demokrat belum pernah membuat pernyataan resmi bahwa dirinya akan memasuki lingkaran koalisi pemerintah. Sementara itu, PKS mengambil langkah dengan memperkuat perannya dan menjadi oposisi yang konsisten terhadap pihak pemerintah.

Dari skema mengenai peta oposisi-koalisi yang telah disebutkan diatas, terlihat bahwa terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah partai koalisi dan oposisi yang ada di Indonesia saat ini. Perlu kita ketahui bahwa oposisi memiliki peran penting dalam menjaga demokrasi di suatu negara yang menganut sistem presidensial multipartai seperti di Indonesia saat ini, dimana kita dapat memetakan fungsi oposisi dalam menjaga demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh Dahl (1971), oposisi dapat berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan pemerintah  sehingga pemerintah akan berjalan tidak terlalu bersebrangan dengan kepentingan rakyat dan masih dalam koridor kedaulatan rakyat, selain itu oposisi juga memiliki fungsi sebagai sarana alternatif dari kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah sehingga kebijakan tersebut akan berjalan secara lebih komprehensif dan dapat menyalurkan suara-suara rakyat. Terakhir, fungsi oposisi juga dapat dilihat sebagai sarana perkembangan pemerintahan masyarakat dengan menjaga rivalitas yang sehat dalam lingkaran pemerintahan. Dari sini dapat kita ketahui bahwa kualitas pemerintah akan meningkat apabila terdapatnya peran oposisi yang strategis sebagai sarana evaluasi kinerja pemerintah.

Dilihat dari bergabungnya Partai Gerindra dan Partai Amanah Nasional (PAN) ke dalam koalisi pemerintah, Solihah (2018) menyebutkan bahwa pemilu serentak dipastikan tidak akan menciptakan koalisi yang tergabung atas dasar kepentingan kekuasaan semata dan lebih mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Pada saat pelaksanaan pemilu, benar adanya bahwa partai-partai yang tergabung ke dalam kedua belah kubu itu masing-masing berkoalisi karena kesamaan pandangan serta visi misi dan ideologi. Namun demikian hal ini menjadi berbeda cerita ketika pemilu serentak tersebut sudah mencapai hasil akhir. Koalisi yang gemuk diakibatkan oleh pragmatism yang dimiliki oleh partai politik tersebut karena semata-mata menduduki kursi kekuasaan dan kepentingan dirinya sendiri. Hal ini terlihat jelas dari kursi yang disediakan oleh Jokowi-Ma’ruf pada elit Gerindra dan PAN. Peta koalisi tersebut berjalan sesuai dengan keinginan jangka pendeknya yakni memperoleh kekuasaan melalui jalan yang instan, dengan berkoalisi tanpa memandang ideologi partai.

            Lain halnya dengan oposisi, keberadaan oposisi cenderung diberantas dan semakin remuk ditengah oposisi yang bertambah gemuk. Oposisi yang lemah akan mempengaruhi berjalannya fungsi-fungsi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Pertama, oposisi yang memiliki peran sebagai penyeimbang kekuatan negara dalam hal pasca pemilu 2019 ini tentunya tidak terbukti akibat ketidakseimbangan jumlah yang terdapat antara oposisi-koalisi. Hal ini akan berdampak pada pelemahan oposisi itu sendiri dengan dominannya suara koalisi sehingga masukan-masukan oposisi yang dilakukan sebagai penyeimbang kekuatan negara akan hilang dan mengancam ketimpangan kekuasaan sehingga akan mempengaruhi hilangnya kontrol terhadap kekuasaan partai politik yang dominan. Perlu diingat bahwa demokrasi akan hidup apabila adanya kontrol dan check and balance penuh untuk mengurangi kekuasaan agar tidak menyimpang. Hal ini senada dengan adagium Lord Acton, Power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely. Fungsi kedua, yakni sebagai sarana alternatif dari kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah sehingga aspirasi rakyat dapat disalurkan secara penuh juga susah untuk dipenuhi karena kekalahan suara yang dimiliki oleh oposisi yang terdapat di parlemen sehingga sangat kecil kemungkinannya bagi suara rakyat dalam mengaspirasikan suatu kebijakan tertentu untuk diakomodir. Terlihat bahwa suara yang dimiliki oleh koalisi di pemerintahan saat ini ada 471 kursi dan oposisi yang hanya ada 104 kursi. Dan pada fungsi ketiga, yakni sebagai sarana perkembangan pemerintahan masyarakat dengan menjaga rivalitas yang sehat dalam lingkaran pemerintahan juga akan sulit terwujud mengingat persaingan yang sehat tersebut mustahil terjadi dengan perbedaan suara yang sangat banyak. Ketiga hal ini akan mempengaruhi kualitas demokrasi yang akan dihasilkan oleh negara Indonesia kedepannya, mengingat keberadaan oposisi menjadi posisi sentral dalam demokrasi, sebagaimana pendapat Ian Saphiro (1996), “Democracy is an ideology of opposition as much as it is one of government.”  

Selain berkaitan dengan tiga fungsi partai oposisi dalam demokrasi, keberadaan oposisi yang kian meresahkan karena ketimpangan suara ini juga akan mempengaruhi mengenai pencalonan paslon dalam pemilu presiden. Sebagaimana diketahui, menurut UU No. 17 Tahun 2017 mengenai pemilu, besaran angka  presidential  threshold untuk mencalonkan pasangan presiden ialah sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional. Bagi partai oposisi seperti PKS dan Demokrat, hal ini menjadi tantangan baru mengingat suara mereka dalam kursi DPR hanya ada 8,21% untuk PKS dan 7,77% untuk Demokrat. Dilihat dari jumlahnya, sulit bagi mereka untuk mengusung calon presiden yang berasal dari kubu mereka. Kita tahu bahwa dalam sistem presidensial dengan multipartai sederhana, pemecahan menjadi partai politik baru hanya akan mempengaruhi stabilitas pemerintahan sehingga berkoalisi dengan partai besar menjadi satu-satunya jalan untuk mengusung calon presiden. Dalam hal ini, apabila demokrat dan PKS bergabung pada partai besar yang mana statusnya merupakan koalisi pemeritah, hal ini justru akan semakin berbahaya bagi oposisi dan melahirkan kepemimpinan oligarki dan eksklusif. Tentunya hal ini juga berimplikasi pada demokrasi sebagai pemerintahan yang berjalan secara inklusif.

Maka dari itu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pemilu merupakan suatu sarana untuk mengukur kualitas demokrasi di suatu negara. Salah satu indikatornya ialah terdapatnya komposisi oposisi koalisi yang seimbang dari partai-partai politik peserta pemilu. Namun pada kenyataannya, kecenderungan pragmatism partai-partai politik di Indonesia pasca pemilu 2019 mengakibatkan oposisi yang lenggang dan koalisi yang langgeng sehingga memunculkan ketimpangan posisi yang menyebabkan kehancuran demokrasi itu sendiri. Kemungkinan kemunculan pemerintahan oligarki, otoriter, dan anti kritik juga sangat besar apabila melihat peta politik oposisi-koalisi seperti yang ada saat ini, bahkan penegakkan demokrasi yang telah terlegitimasi pasca reformasi 1998 akan mengalami keruntuhan dan dapat kembali seperti era Orde Baru yang kelam. Dengan demikian, pemetaan kembali oposisi-koalisi pada pemilu yang akan datang menjadi krusial untuk dibahas dan diteliti pada penelitian selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun