Mohon tunggu...
Cara Terbang
Cara Terbang Mohon Tunggu... Freelancer - Jalesveva Jayamahe!

Masih belajar cara terbang. Namun Saya senantiasa setia dan menapak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Catatan Seorang Demonstran] Gundala, Mahasiswa, dan Masa Depan Bangsa

12 Oktober 2019   21:45 Diperbarui: 12 Oktober 2019   21:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kuliah. (sumber: Jobplanet - kompas.com)

(Peringatan! Ini tulisan idealistik. Bagi kalian realis-pesimis yang allergi, jangan lanjutkan membaca karena kalian bisa sakit) 

Waktu menunjukkan jam 4 sore dan telihat barisan depan saya itu begitu padat. Terlihat jelas di beberapa wajah yang cukup asing dengan panas, debu, keramaian, tapi bersemangat dan tetap kukuh mempertahankan barisan. Satu tujuan, satu komando dan satu arah. 

Pulangnya mungkin beberapa dari kami tidak tahu apa yang bisa jadi masalah kami. Ada yang sudah mendapat surat peringatan kedua, dan satu surat peringatan lagi mungkin adalah ujung terakhir pertahanan. 

Namun, jika demokrasi suara rakyat, bukankah denyut nadi dan keringat kami adalah juga? Kata-kata yang kami tuliskan dan aktualisasikan adalah realisasi dari pemikiran pagi hingga senja kami terhadap masa depan bangsa. 

Muda? memang benar. Barisan kami adalah barisan berumur 19 hingga 23 tahun. Belum bekerja, dan orang tua kami juga bekerja sama seperti orang tua kalian, pengusaha, politisi, dosen, ilmuwan, kontraktor, aparat negara, dan mungkin beberapa kategori lain yang bisa kalian jabarkan sendiri. 

Banyak yang menyalahartikan kami sebagai generasi yang cuek: kalau kami bukan anak senja, yang kerjanya clubbing ya kami anak kosan yang antara belajar atau berjam-jam belajar. Kalian bisa temukan kami di kios kopi terkeren atau yang berada di ujung-ujung jalan, belajar, bergaul, bercerita, tersenyum atau memakai earphone fokus dengan laptop atau tugas dan kerjaan yang sedang kami coba selesaikan. 

Atau tulisan tentang demokrasi yang kami akan curahkan lewat tulisan, retorik berapi-api atas kertas kertas A4 dan A2 yang dibentangkan di antara opini kebangsaan lain. Beberapa dari kami juga sempat berpidato api-api. 

Dulunya mungkin hanya beberapa saja orang yang mampu berpidato, dan biasanya mereka menjadi pemimpin bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, George Washington, Napoleon, dan lain sebagainya. Tapi hari ini, melihat jumlah mereka banyak diatas podium, saya yakin banyak pemimpin muda akan kelak lahir.

Idealisme adalah motor kami di tengah dunia yang mulai realis dimana uang adalah penggerak kesejahteraan, pertemanan adalah sarana membangun jaringan demi masa depan dan mulai sarat ketulusan. 

Seiring umur menua, banyak dari kami yang direkam sejarah mulai hanyut dibawa kesejahteraan keamanan, dinginnya ruangan berac, kopi seduhan mahal di pagi hari dan makan malam di gedung tertinggi ibukota. 

Atau mungkin mulai melupakan kenaifan, berusaha sempurna dan terjebak dalam klise kalau sempurna adalah kesementaraan. Menertawakan masa kecil, yang bercita-cita menjadi astronot, dokter, hakim, pengacara, pilot sembari tersenyum sinis kalau semua itu hanya terbatas pada mimpi. 

Disaat sakit, perih dan rasa kecewa datang berganti mencoba merengut mimpi kami. 

Tapi, saya hari ini menyatakan mimpi itu masih ada. Dan bukan teman tidur saya, melainkan tenaga penggerak saya untuk tetap terjaga di malam negeri yang semakin gelap dan keruh karena politik ini.

Menonton film Gundala garapan bang Joko Anwar, menstimulasi sedikit idealisme yang ingin saya tuangkan dalam dunia yang memerlukan idealisme ini. Paparan cerita dalam Gundala begitu mengena dalam pemandangan sehari-hari. 

Gundala adalah sebuah tuangan drama tentang rakyat dan musuh besar yang sulit dihadapi jika dihadapkan dengan berbagai usaha kesendirian. 

Musuh dengan karakter kompleks yang dibuat mas Joko Anwar, sang Pengkor, tentu bisa dinikmati penonton dengan reflektif dan pesan yang cukup mengena. Pengkor dan klan-nya bisa diterjemahkan sebagai elit-elit yang mengontrol politik, sosial dan perekonomian negara. 

Gundala ditutup dengan narasi yang cukup kuat dari arc ceritanya. Gundala menghadapi musuh-musuhnya tidak sendiri. Ada pengorbanan Pak Agung, yang selalu mengingatkan Sancaka tentang berjuang bagi mereka yang memerlukan keadilan, serta terlihat beberapa gerombolan masyarakat yang bersatu dimulai dengan anak kecil untuk menumpas preman-preman dan penjahat yang mencoba merusak tempat berjualan mereka. 

Jika coba dihubungan dengan konteks hari ini, Pengkor mewakili sindikat kepentingan , kehjahatan, ketidakadilan, kemunafikan yang lahir daripada jahatnya dunia. Gundala lahir dari dosis kegelapan yang sama namun tumbuh menjadi sebuah idealisme, simbol harapan dan perjuangannya adalah penggerak persatuan.  

Hari itu yang sempat saya sedihkan adalah alasan mahasiswa bersatu bukanlah karena menyuarakan harapan, melainkan tuntutan. Lebih karena sebuah masalah kolektif. 

Bisa saja, mereka datang karena ajakan teman yang responsif kepada kondisi ketidakadilan pembuatan undang-undang yang menggiring opini rakyat yang tidak menyetujuinya. 

Tuntutan politik dan nasionalisme memanggil mereka yang muda dan termarjinalkan dari masyarakat. Para mahasiswa seperti menjadi mencoba menjadi simbol harapan ini bagi masyarakat. 

Tak heran, jika beberapa dari mereka yang terkena gas air mata sempat ditolong warga setempat untuk diberi genangan air untuk membasuh wajah. Rakyat perlu simbol, dan disaat simbol harapan pilihan mereka gagal, simbol baru naik dan siap didukung mereka yang haus perubahan pembangunan. 

Sempat saya bertanya kepada mereka yang dalam barisan-barisan itu. Jujur saya menunggu jawaban-jawaban indikasi kurangnya pemahaman dari mereka. Namun yang saya temukan adalah jawaban-jawaban kritikal. 

"Ya pemerintah itu perlu mendengarkan kami, sebagai suara rakyat dan suara yang menuntut perubahan untuk RKUHP dan RUU KPK." ujar salah satu mahasiswa kampus swasta di Jakarta Selatan. 

"Demonstrasi yang terprovokasi hanya akan memakan korban." ujar salah seorang mahasiswa yang uniknya berasal dari Indonesia, sedang berkuliah di luar negeri namun menyempatkan hari-hari terakhir libur musim panas dengan turun beraspirasi. 

Nama dan identitas asal kampus mereka saya rahasiakan karena maraknya ancaman surat peringatan bagi mereka yang turun aksi demonstrasi. 

Jujur, dengan pemikiran seperti ini saya rasa inklusivitas dalam demokrasi sudah tercapai. Demonstrasi dengan ide seperti ini, saya yakini, harusnya tidak mengarah kepada radikalisme dan aksi fisik. 

Seharusnya mengarah kepada bangunnya kesadaran bagi mereka elit-elit pembuat keputusan dan yang diberi wewenang menentukan nasib bangsa, dimana kami ada didalamnya.  

Masa depan Indonesia ada ditangan saya dan mereka. Sempat saya ragu dan bertanya mengapa saya disini, dan mengambil resiko dari apa yang akan terjadi setelah saya kembali ke perkuliahan. 

Kemudian, saya memilih untuk menutupi keraguan dan pesimistis ini demi menjadi warga negara yang aktif partisipatif dalam menggerakan roda demokrasi negara. 

Dulu, senior mahasiswa saya yang memberi perubahan signifikan dalam demokrasi serta reformasi yang saya nikmati sekarang. Instagram story hari pemilu, debat antar kandidat di televisi dan radio, serta artikel-artikel kritik pemerintah dan demonstrasi yang saya telah lakukan. 

Ingin saya memberi dampak yang sama yang generasi dibawah saya nikmati, terlepas dari hubungan darah, keluarga atau ideologi. Tapi, terhubung oleh simbol harapan, demokrasi, kebangsaan yang satu, Bangsa Indonesia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun