Mohon tunggu...
Cara Terbang
Cara Terbang Mohon Tunggu... Freelancer - Jalesveva Jayamahe!

Masih belajar cara terbang. Namun Saya senantiasa setia dan menapak.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Catatan Seorang Demonstran] Gundala, Mahasiswa, dan Masa Depan Bangsa

12 Oktober 2019   21:45 Diperbarui: 12 Oktober 2019   21:48 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kuliah. (sumber: Jobplanet - kompas.com)

Disaat sakit, perih dan rasa kecewa datang berganti mencoba merengut mimpi kami. 

Tapi, saya hari ini menyatakan mimpi itu masih ada. Dan bukan teman tidur saya, melainkan tenaga penggerak saya untuk tetap terjaga di malam negeri yang semakin gelap dan keruh karena politik ini.

Menonton film Gundala garapan bang Joko Anwar, menstimulasi sedikit idealisme yang ingin saya tuangkan dalam dunia yang memerlukan idealisme ini. Paparan cerita dalam Gundala begitu mengena dalam pemandangan sehari-hari. 

Gundala adalah sebuah tuangan drama tentang rakyat dan musuh besar yang sulit dihadapi jika dihadapkan dengan berbagai usaha kesendirian. 

Musuh dengan karakter kompleks yang dibuat mas Joko Anwar, sang Pengkor, tentu bisa dinikmati penonton dengan reflektif dan pesan yang cukup mengena. Pengkor dan klan-nya bisa diterjemahkan sebagai elit-elit yang mengontrol politik, sosial dan perekonomian negara. 

Gundala ditutup dengan narasi yang cukup kuat dari arc ceritanya. Gundala menghadapi musuh-musuhnya tidak sendiri. Ada pengorbanan Pak Agung, yang selalu mengingatkan Sancaka tentang berjuang bagi mereka yang memerlukan keadilan, serta terlihat beberapa gerombolan masyarakat yang bersatu dimulai dengan anak kecil untuk menumpas preman-preman dan penjahat yang mencoba merusak tempat berjualan mereka. 

Jika coba dihubungan dengan konteks hari ini, Pengkor mewakili sindikat kepentingan , kehjahatan, ketidakadilan, kemunafikan yang lahir daripada jahatnya dunia. Gundala lahir dari dosis kegelapan yang sama namun tumbuh menjadi sebuah idealisme, simbol harapan dan perjuangannya adalah penggerak persatuan.  

Hari itu yang sempat saya sedihkan adalah alasan mahasiswa bersatu bukanlah karena menyuarakan harapan, melainkan tuntutan. Lebih karena sebuah masalah kolektif. 

Bisa saja, mereka datang karena ajakan teman yang responsif kepada kondisi ketidakadilan pembuatan undang-undang yang menggiring opini rakyat yang tidak menyetujuinya. 

Tuntutan politik dan nasionalisme memanggil mereka yang muda dan termarjinalkan dari masyarakat. Para mahasiswa seperti menjadi mencoba menjadi simbol harapan ini bagi masyarakat. 

Tak heran, jika beberapa dari mereka yang terkena gas air mata sempat ditolong warga setempat untuk diberi genangan air untuk membasuh wajah. Rakyat perlu simbol, dan disaat simbol harapan pilihan mereka gagal, simbol baru naik dan siap didukung mereka yang haus perubahan pembangunan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun