Mohon tunggu...
Cantika Muhrim
Cantika Muhrim Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Pegiat Kemanusiaan dan Perubahan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Pertama Tak Pernah Mati

15 Januari 2020   16:43 Diperbarui: 4 April 2020   02:43 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

.......................................................................................................................................................................................................................................................................................

Selesai pemakaman

Teman dan sanak saudara pulang satu satu dengan ucapan bela sungkawa. Bunda terdiam di pojok kamar. Tatapannya kosong. didepannya dhiera kecil sedang bermain boneka pemberian sang ayah.

Teriris hatinya. Anak itu bahkan belum paham apa yang terjadi hari ini. Sedari tadi dia sibuk bermain dengan teman temannya, tawa nya lepas sekali. Tak ada beban.

Tiba tiba terdengar ketukan pintu dari luar. Mba evi yang datang. " eh mba, masuk mba" ucap bunda lirih disertai senyum yang dipaksakan.

Mba evi langsung  menghamburkan diri dalam pelukan bunda. Spontan tangis mereka pecah.

 " kita sdh melakukan usaha terbaik nilam, ini kehendak Allah. Bang ngga ngerasain sakit lagi yakan , bang udah tenang insyaAllah." Bisik mba evi lembut di telinga bunda.

Senyum melebar di wajah mereka berdua. Masih ada cerita yang harus dilanjutkan. Ya, dongeng dongeng putrinya harus tetap berlangsung. Kastil tak boleh runtuh hanya karena sang raja pergi. Masih ada putrinya. sang putri pun masih membutuhkan belas kasih sang ratu.

CINTA PERTAMA TAK PERNAH MATI

Matahari masih anteng antengnya bersinar, aku berdiri di atas gundukan tanah yang sudah mendekap orang favoritku, sambil menaburkan bunga.

Tempat itu asri, teduh karena dinaungi sebatang pohon besar yang melindungi gundukan tanah itu dari hujan dan terik matahari. Hari ini adalah delapan tahun kepergian ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun