Mohon tunggu...
Cantika Muhrim
Cantika Muhrim Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Pegiat Kemanusiaan dan Perubahan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Pertama Tak Pernah Mati

15 Januari 2020   16:43 Diperbarui: 4 April 2020   02:43 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu, langit terlihat sangat bahagia , berbanding terbalik dengan suasana kamar  dalam sebuah kastil.

Tangan kiri ayah menekan kuat dada nya, jelas sekali rasa sakit yang tertahan. Wajah ayah pucat sekali, bulir bulir keringat bermunculan di dahinya, walaupun ruang kamar full ac 20 derajat. Bunda menangis, tangan kiri nya mengusap usap lembut kepala ayah seperti sihir penguatan. Sedang tangan kanannya sibuk memencet tombol tlfn berusaha menghubungi siapapun yg bisa membantu. 

Dipojok kiri tempat tidur, tepat disamping ayah, Dhiera kecil tidur pulas sekali, tidak mengerti lakon apa yang sedang dimainkan semesta. Tanpa paham begitu berarti nya malam itu, karena malam itu adalah malam terakhir ayah tidur disampingnya.

Beberapa saat, mobil yang menjemput ayah datang, ayah dibawa segera ke rumah sakit.

Malam itu juga, ayah dipasangi masker oksigen, tangannya dipasang jarum infus. Tubuh ayah terlihat lemah sekali, tapi mata ayah masih berbinar seperti biasa nya.

4 hari berlalu dan ayah masih dirawat, berat badan nya turun signifikan.  " bunda jangan lupa kasih dhiera madu, jam makannya diperhatikan"  kalimat itu masih rutin ayah ucapkan walaupun dalam keadaan sakit. Yang hanya dibalas bunda dengan anggukan disertai senyum termanis miliknya.

Ayah menolak bertemu putrinya dhiera. Katanya tidak ingin mengotori imajinasi indah putri nya dengan hal hal menyakitkan yang akan mempengaruhi psikis sang putri.

" ayah akan sembuh, dan akan ketemu kk lgi kok bun" begitulah jawabannya ketika disodorkan tawaran untuk bertemu sang anak.

5 hari berlalu. Tak ada yg beda, hanya kondisi ayah saja yg semakin parah. Sanak saudara, & teman teman ayah datang mengunjunginya dengan berbagai macam jenis herbal & ramuan yang dipercaya dapat menangkal penyakit yang sedang diderita ayah. Ayah menerima semuanya dengan senyum, tak ragu mencobanya dengan tangan terbuka. Siapa tahu bisa sembuh kan? Begitulah katanya sambil menegak pil demi pil, jamu demi jamu, tak peduli seberapa pahitnya.

Suatu hari di malam yang tenang. Hanya ada bunda & ayah. Mereka berbincang serius.

" bun, jangan nangis ya, ayah akan bertahan. demi bunda , dan untuk dhiera , puteri kecil kita.  Ayah akan sembuh, masih banyak hal yg harus ayah lakukan. Masih ada dhiera, dongeng dongengnya tak boleh mati, ayah akan bertahan, menjadi raja terbaik unntuk dunia fantasi nya. Ayah masih ingin bermain main dengannya di kastil kecil milik kita, dongeng putri rapunsel di ujung menara kastil pun belum ayah selesaikan bundaaa, , ayah masih ingin menikmati peluk cium nya ketika menyambut ayah pulang didepan pintu. ayah menangis di pelukan bunda. "ayah masih mau mengantarnya saat dia masuk sekolah nanti bun." ucap ayah sendu sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun