Mohon tunggu...
Cania Adinda
Cania Adinda Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya mahasiswa biasa

Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Financial Inclusion dan Fintech Enthusiast, Gemar menulis puisi dan sajak, Penggiat dunia fotografi sejak 2012.

Selanjutnya

Tutup

Money

Perempuan Nasibmu Kini: Refleksi Cita-cita Kartini

16 Juni 2020   00:00 Diperbarui: 16 Juni 2020   00:17 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"Ada tiga perkara yang membuat Kartini dan surat surat nya itu penting dan patut menarik perhatian, Ialah pertama: Cita-cita; Kedua: Perjuangan di jiwanya dan perjalanan rohaninya yang berubah lambat laun; Ketiga: gaya bahasanya." -Armijn Pane-

Jika kita mengingat tokoh Kartini, yang terlintas di benak tak jarang hanya sebatas keberhasilan seorang wanita yang keluar dari kungkungan. Emansipasi yang umum dipahami menjurus pada usaha kesetaraan wanita terhadap laki-laki dalam segala bidang. Namun apabila kita membaca surat Kartini kepada Prof. Anton dan Istrinya 4 Oktober 1902, ada makna yang lebih esensial dibalik pemahaman umum emansipasi. "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama". Esensi arah emansipasi pada saat ini tampaknya hanya dipahami permukaannya saja oleh banyak orang, sekadar mengetahui dan menuntut hak perempuan untuk setara dalam segala aktivitas, tetapi tak mau paham kewajiban yang harus diemban untuk menjadikan emansipasi itu hidup, memang ada yang sudah melakukan kewajibannya sebelum menuntut haknya, tapi dapat dihitung dengan jemari tangan yang memahaminya secara substansial. Kewajiban yang harus diemban untuk menjadikan emansipasi itu hidup adalah mulai melangkah untuk berkarya, tidak hanya sebatas berangan dan berkata-kata melainkan juga ikut mengambil andil berpartisipasi dalam ruang publik. Memberikan diri kepada sesama, seperti yang Kartini contohkan dalam mendidik masyarakat di sekitarnya.

Alangkah baiknya kita melakukan refleksi lebih dalam terhadap cita-cita Kartini yang lebih dibandingkan sekedar mengekspresikan eksistensi pakaian adat, melambaikan bendera merah putih dengan genggaman sumpit, untuk memuaskan panitia acara serimonial belaka. Bagaimana kenyataannya partisipasi perempuan di masa sekarang? Terkhusus di Indonesia, sudah terwujudkah cita-cita Beliau? atau perjuangannya masih perlu untuk terus didengungkan.

Melihat dari dasar perjuangan Kartini, agar perempuan dapat merasakan apa itu pendidikan, pada era ini cukup mudah untuk siapa saja dapat mengenyam bangku pendidikan dasar. Tentu membahas pendidikan dasar sudah tidak relevan di masa sekarang. Semakin berkembangnya zaman, pendidikan dasar dan menengah saja tidak lah cukup untuk seseorang dapat bertahan di dunia pekerjaan. Lalu bagaimana kenyataannya di negeri ini? Nyatanya berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017, pada populasi usia 18--24 tahun yang menyandang status siswa berpendidikan tinggihanya terdapat 24,23% perempuan dari presentasi penduduk usia sekolah 7--24 tahun berdasar jenis kelamin. Presentse yang cukup rendah. Apabila kita telaah permasalahannya, tidak jarang yang menjadi akar permasalahan adalah kekangan keluarga yang masih kental dengan adat sebagai tameng perlindungan masa depan anak perempuannya, hal ini terjadi mayoritas di wilayah pedesaan dengan adat istiadat yang menjadi pedoman hidup kedua setelah agama, dan perempuannya sendiri belum mendapatkan akses dan fasilitas untuk mengeyam pendidikan menengah hingga tinggi. Lebih dari 41.000 perempuan dibawah usia 18 tahun menikah setiap harinya, angka yang cukup signifikan menyumbang penurunan angka partisipasi menempuh pendidikan di jenjang tinggi.

Tidak terlepas dari dunia pendidikan, ketika perempuan memasuki dunia pekerjaan, terlihat peran penting perempuan masa kini baik dalam pengelolaan rumah tangga maupun pembangunan bangsa. Pada tahun 2016 BPS mengeluarkan hasil survei bahwa dari populasi perempuan di Indonesia, dengan usia rata-rata perkawinan wajar 20 tahun keatas, terdapat 37,79% perempuan yang menyandang status ibu rumah tangga. Status ganda dapat diterima dari sebagian mereka, karena secara keseluruhan pekerja perempuan di Indonesia terdapat 48% dari total populasi orang bekerja. Apakah angka angka ini kembali lagi menjadi sinyal baik di dunia pekerjaan? Apakah benar perempuan sudah sepenuhnya dapat menempati tempat tempat strategis di dalam dunia pekerjaannya? Sangat disayangkan jawabannya tidak. Hanya 29,50% dari perempuan Indonesia dapat merasakan posisi jabatan middle hingga top manajer. 41% dari perempuan Indonesia hanya dapat bekerja sebagai low hingga middle manajer, dan sisanya membuka usaha sendiri dengan skala industri kecil. BPS pun mencatat hanya 36,03% kontribusi pendapatan yang diberikan oleh perempuan dalam pedapatan nasional.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjunjung hak-hak perempuan melalui berbagai peraturan hukum dan menunjukkannya dengan menandatangani sejumlah komitmen dan kovenan internasional terkait dengan kesetaraan gender. Sementara Keputusan Presiden yang dikeluarkan tahun 2000 telah memberikan mandat untuk mengutamakan gender kepada pemerintah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah membuat rancangan sebuah undang-undang baru tentang kesetaraan gender. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa hambatan bagi keterlibatan perempuan di kehidupan publik, walau tidak ada hambatan lagi secara hukum bagi keterlibatan perempuan di politik dan pemerintahan, dan meskipun jumlah keterlibatan itu meningkat, tetap saja masih rendah. Keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebesar 18%, dan meskipun partai politik sebagian besar mencalonkan 30 persen caleg perempuan mereka, posisi caleg itu di dewan pimpinan pusat partai belumlah jelas. Meskipun jumlah perempuan tenaga kerja di sektor pelayanan publik adalah sebesar 45,4%, keberadaan mereka sebagian besar ada di eselon-eselon yang rendah (2, 3 dan 4). Hanya 9 persen dari mereka yang ada di eselon satu adalah perempuan. Menurut Catherine Mayer dalam bukunya yang berjudul "Attack of the 50th women: How Gender Equality Can Save The World", ketimpangan partisipasi perempuan dalam dunia pemerintah dan perpolitikan karena adanya stigma, "women are already significantly disadvantaged", karena dianggap wanita hanya memiliki kekuatan dalam kata-kata dan perasaan, ketimbang laki-laki yang memiliki modal uang untuk membangun negara. Bagaimana mungkin kita bisa membuat suatu kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang menjunjung kesetaraan gender, ketika sejak hilir nya saja sudah terjadi ketimpangan representasi dari gender? Ketimpingan representasi tentu akan berujung pada ketimpangan aspirasi.

Dari beberapa persoalan yang sudah dijabarkan, dapat kah kita menyimpulkan bahwa sejatinya cita-cita mulia Kartini sudah terwujud di masa kini? Pemahaman mendasar dari gagasan emansipasi seorang Kartini layaknya direnungkan kembali oleh setiap perempuan yang masih memiliki kesempatan untuk membenahi apa yang sudah bobrok selama ini. Walaupun perempuan Indonesia masa kini sudah mulai mampu keluar dari ranah domestiknya menuju ke ranah publik, namun secara kasat mata perempuan tetap harus berjuang untuk keluar dari stigma yang memenjarakan perempuan dalam kenikmatan semu yang akan membawa dampak buruk bagi perempuan kelak. Teruslah berkarya perempuan Indonesia, cukup dan puas untuk diri sendiri hanyalah sia-sia, negeri mu membutuhkan mu, tetaplah percaya pada dirimu sendiri, untuk wujudkan hal baik bagi sesama mu di negeri mu.

"Kecerdasan pemikiran Bumiputera tidak akan maju jika perempuan ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan adalah pembawa peradaban" --- R.A. Kartini

Selamat memperingati esensi Hari Kartini seutuhnya,

Cania Adinda Sinaga, Wakil Kepala Biro Kajian DPK GMNI FEB UI.

(Ditulis 21 April 2018, untuk Opini Mini GMNI FEB UI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun