Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bank Digital Sekadar Mengikuti Tren atau Kebutuhan?

27 Oktober 2021   17:44 Diperbarui: 27 Oktober 2021   17:46 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebutan Bank digital sepintas terkesan lebih keren, canggih, dan menarik, jika dilihat dari sekedar istilah. Entah karena latah teknologi sehingga lahir bank digital atau karena ada permintaan pasar mendesak yang harus segera diisi.

Secara definisi bank digital bisa disebut sebagai lembaga berbadan hukum yang menyediakan jasa dan menjalankan kegiatan usaha melalui saluran elektronik (internet) tanpa kantor fisik atau memiliki kantor fisik yang terbatas.

Kehadiran bank digital ditengah derasnya arus digitalisasi dunia memang dirasa wajar saja. Namanya kreativitas bisnis memungkinkan setiap orang untuk melahirkan ide-ide baru termasuk di ranah perbankan.

Akan tetapi masyarakat Indonesia pada umumnya saat ini hanya mengenal bank seperti yang ada sesuai dengan titah Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan. Sejauh yang saya tahu, bank digital tidak dikenal dalam undang-undang perbankan Nomor 10 Tahun 2008 tentang Bank.

Didalam undang-undang tersebut bank sebagai lembaga usaha yang menghimpun dana masyarakat hanya ada Bank Umum (BU) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), baik pola konvensional maupun syariah. Tidak terdapat pasal mengenai bank digital.

Namun jika yang dimaksud dengan bank digital hanya permodelan saja tanpa ada perbedaan dengan bank yang dimaksud pada UU Bank, maka hal itu tidak jadi soal. Sebab tanpa mengubah bentuk bank.

Artinya bank digital hanya sebuah nama saja atau brand. Sedangkan dalam praktik operasional dan persyaratan yang harus dipenuhi mengacu kepada undang-undang. Hal ini penting untuk diperhatikan, mengingat fungsi bank adalah menghimpun dana masyarakat.

Perbankan sebagai sebuah institusi publik yang dilahirkan berdasarkan aturan pemerintah memiliki tempat, kedudukan, dan standar operasional prosedur yang jelas. Oleh karena ini soal kepercayaan masyarakat. Ingat! Bank adalah menjual kepercayaan.

Lantas bagaimana bisa dipercaya jika kantornya saja tidak jelas ada dimana. Atau kantor bank digital tersebut hanya di dunia maya (alam abstrak). Apakah cukup kredibel untuk kita simpan uang kita? Apakah jika internet dan perangkat digitalnya mati, bank masih menjamin uang kita aman?

Karena itu menurut saya bank digital masih sebatas ikuti tren "latah digital", meski masyarakat saat ini membutuhkan layanan digital tetapi bukan berarti bank digital alam maya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas Bank dan pemberi izin operasional hingga sekarang belum mengeluarkan aturan baru untuk pembentukan bank digital. Ini mengisyaratkan bahwa semua butuh waktu dan kajian lebih mendalam.

OJK sendiri lebih merekomendasikan model bisnis bank hybrid (mengintegrasikan bank dengan teknologi digital) untuk meningkatkan nilai layanan. Lebih jauh OJK mengingatkan agar slogan Bank Digital tidak dijadikan sebagai gimmick bisnis semata. Pada ujungnya masyarakat yang menjadi korban.

Terlebih baru-baru ini OJK telah melakukan riset untuk mengukur sejauh mana model bisnis bank digital layak disebut sebagai lembaga keuangan bank yang didalamnya terdapat unsur keamanan, kepercayaan, pengelolaan resiko, dan teknologi.

Dengan menggunakan instrumen Digital Maturity Assessment for Bank (DMAB), OJK menemukan tingkat manuritas bank digital di Indonesia dari segi manajemen risiko baru mencapai 43%. Artinya tingkat kematangan manajemen risiko masih sangat rendah. Padahal fungsi bank sangat identik dengan pengelolaan risiko.

Tidak hanya dari aspek manajemen risiko bank digital yang masih rendah, pada aspek tingkat kematangan sistem data perbankan digital juga baru mencapai 57% atau belum memenuhi standar yang diharapkan. Begitupun tingkat kematangan teknologi bank digital di tanah air masih pada angka 50%.

Jika temuan OJK ini menjadi acuan, maka bank digital sebagai sebuah transformasi sistem dapat dikatakan masih harus bekerja lebih keras. Transformasi dari sistem tradisional ke digital mutlak dilakukan untuk menciptakan satu ekosistem baru dalam kemudahan bertransaksi.

Pada akhirnya saya menilai, bank digital sebagai satu institusi yang berfungsi sebagai sebenarnya bank, belum dapat diterima. Namun sebagai hybrid system, bank digital sedang pada posisi membangun dirinya dengan teknologi baru.

Masyarakat tidak membutuhkan bank digital di dunia maya. Justru yang diharapkan adalah sistem transaksi yang memudahkan, aman, nyaman, dan dapat dipercaya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun