Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Semakin Tinggi Pendidikan Seseorang, Semakin Sulit Diakses?

24 Februari 2019   18:05 Diperbarui: 27 Februari 2019   18:11 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika ttingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi kesulitan akses (Sumber:rawpixel.com)

Judul ini berangkat dari sebuah pengalaman pribadi. Bahkan untuk kesekian kalinya peristiwa ini terus terjadi secara berulang. Sehingga hampir saja menjadi kebenaran. Tetapi apakah memang benar bahwa tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi kesulitan akses?

Yang dimaksud kesulitan akses di sini adalah memiliki hambatan yang sangat signifikan dalam komunikasi maupun untuk memperoleh layanan. Misalnya sering tidak membaca pesan yang kita kirim, boro-boro membalasnya, mengabaikan panggilan telepon, dan tidak membalas email atau bentuk-bentuk lain.

Jika mau diajak untuk ketemu mereka selalu mengelak, mungkin juga menolak dengan alasan tidak ada waktu, sibuk dengan pekerjaan, dan masih banyak lagi yang intinya tidak bisa. Meskipun kita tahu salah atau benar, namun kerap alibinya selalu ada.

Saya pernah punya relasi yang sederajat dan setara pada satu bidang. Kami membina hubungan sebagai mitra kerja pada sebuah organisasi. Dengan setiap hari selalu bertemu sehingga sering terjadi diskusi dan berbagi informasi di antara kami.

Hubungan kami belangsung cukup hangat karena obrolan yang sering kami lakukan pun sederajat dengan status sosial kami. Bisa dikatakan keadaan hubungan atau relasi tanpa ketimpangan. Keakraban itu belangsung cukup lama, sampai sebuah situasi baru mengubah segalanya.

Bermula dari jenjang pendidikan. Saat itu teman saya ini rupanya melanjutkan pendidikan ke doctoral. Meskipun saya tahu, namun waktu sebelum benar-benar menjadi seorang ilmuan dengan gelar doktor, dia tidak berubah sama sekali.

Seiring waktu berjalan, dan ditambah kesibukan masing-masing. Kebiasaan sebelumnya kami sering bertemu dan mudah juga diajak ketemu serta saling ngobrol, kini berganti seakan-akan mulai ada dinding yang memisahkan. Dia mulai jarang berkomunikasi dan sulit dihubungi.

Teleponnya lebih sering tidak aktif dan pesan singkat tidak dibalas. Dan saya pun mulai berpikir negatif tentang dia. Sampai bertanya-tanya, apakah karena gelar doktor yang ia sandang sehingga ia berubah? Pikiran buruk tersebut mulai mengait-ngaitkan dengan kondisi yang ada. Karena mengingat diri yang belum bergelar doktor.

Agar tidak terjebak pada sikap memandang sebelah mata, akhirnya saya pun melakukan investigasi, check and rechek. 

Langkah pertama saya mulai dengan bertanya pada teman-teman kami semua. Apakah mereka juga merasakan ada perubahan sikap teman kita yang sudah doktor itu? Dan ternyata jawaban mereka iya, benar ada perubahan yang sangat mencolok.

Namun anehnya ketika kami menanyakan tentang seseorang tersebut kepada teman-teman mereka yang sama-sama doktor. 

Ternyata jawaban yang saya temukan sangat berbeda dengan apa yang kami rasakan. Bahkan teman-teman doktornya itu tidak melihat sedikitpun ada perubahan, artinya masih mudah dihubungi, bicara, dan tidak ada masalah dalam hubungan.

Lalu, investigasi pun saya selesai dan kami telah menemukan hasil awal sebelum sampai pada kesimpulan.

Kemudian beberapa hari setelah itu, saya pun seperti biasa yaitu selalu bersosialisasi dengan berbagai siapa saja. Bukan hanya seusia saya bahkan tak jarang saya juga memiliki begitu banyak teman dari berbagai latar belakang pendidikan dan usia yang bervariasi. Termasuk anak-anak dan remaja.

Namun untuk kebutuhan tertentu melalui pertemanan saya pasti menentukan pilihan. Mau tidak mau harus memutuskan apakah dia termasuk orang yang dapat diandalkan atau tidak. Begitulah rupa ketika kita memiliki teman yang level sosialnya sudah "meninggi."

Kadang kita sering kecewa mengharapkan segalanya dari teman yang menurut kita masih sejawat walaupun berbeda kelas. Kecewa karena apa yang biasanya kita lakukan sama-sama alias saling membantu namun kini tidak seperti itu lagi. Hanya karena gelar akademik membuat ia menjauh dari kita bahkan cenderung menolak dan menghindar.

Pengalaman ini saya rasa sudah berulang kali dengan orang-orang yang berbeda. 

Sekiranya itu perilaku seseorang rasanya tidak mungkin, tetapi untuk mengatakan bahwa itu sebagai prilaku umum juga masih perlu kajian lebih lanjut. 

Namun hendaknya jika kita pada posisi sebagai orang super sibuk, bergelar doktor, memiliki jabatan mentereng, maka janganlah menjadi orang yang menutup akses bagi teman lama atau teman yang sudah beda status sosial. Biasa sajalah!

Obrolan ringan petang hari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun