Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dinamika Pilpres 2019, Dari Ancaman Siber Hingga Hubungan Aceh dan Jakarta

30 Oktober 2018   06:03 Diperbarui: 2 November 2018   18:53 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stepi Anriani, pemateri sedang memberikan paparan, Senin (29/10/2018)/dokumentasi pribadi

Dalam konteks pilpres Indonesia hal itu juga berlaku. Intelijen mesti mewaspadai dan mengkonter berbagai operasi intelijen negara-negara lain yang mencoba menganggu pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Namun ancaman dari dalam yang juga sebetulnya tak kalah berbaha adalah hoaks dan pelaku cyber crime. Hoaks yang kerab disebarkan untuk membangun persepsi negatif masyarakat terhadap kedua kandidat Capres dan Cawapres, cendrung masif dan dapat menyesatkan pola pikir publik. Harus segera ditangani dengan sistematis dan terukur.

Jadi proxy war terjadi bukan hanya dalam lintas antar negara. Didalam negeri pun proxy war versi hoaks juga menjadi ancaman nyata. Ironinya, hoaks ini tidak lagi bergerak secara amatiran, tapi sudah secara industri. Artinya ada pihak yang sengaja berbisnis dengan memproduksi hoaks sesuai pesanan.

Hal lainnya yang perlu diantisipasi oleh penyelenggara pemilu dan peserta pemilu adalah ancaman serangan hacker dan cracker terhadap sistem informasi teknologi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan tim pemenangan masing-masing kandidat harus memiliki tenaga ahli IT untuk mengawasi dan mengawal suara kandidat mereka agar tetap aman. 

Generasi Z

Jika caleg ingin terpilih dengan cara mudah tanpa modal. Stepi menyarankan agar mengoptimalkan teknologi, terutama kanal informasi sosial media.

Ini era yang terbalik, maksudnya bahwa apa yang terjadi pada generasi X dan Y berbeda terbalik dengan zaman generasi Z (millennial) saat ini. Konkritnya mari ambil kasus apa yang terjadi pada media informasi. Dulu apa yang menjadi headline di koran (media cetak) baru kemudian diikuti oleh media sosial. Namun kini sebaliknya, apa yang menjadi trending topik di twitter (sosial media) kemudian diikuti menjadi headline di koran, tabloid, dan majalah. Ini adalah fenomena secara umum.

Oleh karena itu, arus utama informasi yang menjadi preferensi para pemilih kini telah bergeser, sebelumnya lebih didominasi oleh media cetak, maka kini berubah yakni media sosial menjadi konsideran yang utama bagi publik.  Itulah alasannya mengapa para caleg dan kandidat peserta pemilu harus mengubah strategi komunikasi mereka untuk menjangkau pemilih.

Kaitannya dengan pemilih pemula adalah rata-rata mereka pengguna media sosial, melalui gadged dan smartphone-nya. Sebagai generasi digital, mereka lebih menyukai hal-hal yang menyenangkan, seperti game, musik, video vlog, dan film-film animasi yang menarik. Generasi ini cenderung tidak suka dengan hal-hal yang sangat serius, menegangkan atau tidak nyaman.

Inilah yang harus dimanfaatkan dan dimainkan oleh tim pemenangan. Menciptakan konten-konten kreatif yang menarik perhatian generasi Z tersebut. Dengan begitu para caleg atau kandidat akan mudah mendekati mereka. Satu hal yang penting untuk dicatat dalam konteks ini adalah generasi Z ini lebih banyak dipengaruhi oleh emosionalnya daripada rasionalitas.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun