Mohon tunggu...
Muhammad Hidayat
Muhammad Hidayat Mohon Tunggu... Konsultan - Tertarik pada masalah sosial, ekonomi dan lingkungan.

Tertarik pada masalah sosial, ekonomi dan lingkungan. Tertarik pada masalah sosial, ekonomi dan lingkungan. Tertarik pada masalah sosial, ekonomi dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mencari UBER di Bali

11 September 2015   12:50 Diperbarui: 11 September 2015   13:19 7493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Penampakan armada UBER di aplikasi pada telepon pintar"][/caption]

Uber memang fenomenal, selalu dicaci sekaligus dicari-cari. Demikian pula di Bali. Tak kurang caci maki para pengemudi taksi resmi maupun tidak resmi mengutuk keberadaan UBER Bali dengan alasan berkurangnya omset, tapi tetap saja banyak yg menanti-nanti. Termasuk saya sendiri. Skema tarif yang dirasa lebih adil [baca: murah] menjadi satu penarik para pengguna jasa layanan carter mobil online ini.

Sebagai perbandingan, menggunakan jasa taksi berlambang burung biru dari kediaman saya menuju ke bandara Ngurah Rai ditambah biaya jalan bebas hambatan tidak pernah kurang dari seratus ribu rupiah. Sebaliknya, jika harus pakai jasa taksi bandara yg tarifnya sudah ditentukan, saya harus mengeluarkan seratus tiga puluh lima ribu untuk menuju ke rumah. Dengan jasa mobil sewaan dibantu aplikasi UBER, saya hanya harus merogoh kocek sebesar lebih kurang enam puluh lima ribu saja, itupun sudah termasuk biaya jalan bebas hambatan. Dengan tambahan tips lima sampai sepuluh ribu untuk supir [yg tentunya membahagiakan mereka], masih jauh sekali perbedaan harganya.

Bagi pelancong, terutama dari kota Jakarta yg sudah lebih dekat dengan UBER tentunya ini merupakan hal yang sangat membantu. Menghindarkan diri dari kebingungan di Bandara ketika berpelesir di pulau dewata ini. Demikian pula pelancong asing yang sudah terbiasa dengan aplikasi UBER di negaranya sendiri.

Di Denpasar, UBER sebarannya masih terbatas. Belum merata dan kebanyakan terkonsentrasi di kawasan Kuta-Seminyak-Bandara. Di kawasan lain masih jarang. Ini merupakan peluang bagi anak-anak muda yg menganggur untuk masuk ke dunia jasa ini disamping memberdayakan minibus [a.k.a. MPV] sejuta umat yg sering lebih banyak nongkrong di parkiran atau garasi mobil.

Walau gampang ditemukan di Bandara, UBER tidak bisa semena-mena mengantar dan mengambil penumpang di seluruh pelosok Bali. Contohnya di Ubud, UBER tidak bisa mengambil atau menurunkan penumpang. Kabar dari supir menurunkan penumpang di kawasan Ubud, maka supir tidak akan dibayar. Tapi jika naik UBER dari Denpasar kemudian ke Ubud berputar-putar disana tanpa menghentikan hitungan tarif, sampai keluar dari kawasan Ubud, maka itu diperbolehkan alias tidak masalah, demikian kata supir. Sebab kenapa UBER tidak boleh beroperasi di kawasan UBUD tidak terlalu jelas. Kemungkinan karena konflik dengan pengusaha dan supir lokal yang kabarnya cukup kuat pengaruhnya.

Satu lagi, di Bali hanya ada UBER Black, tidak ada UBERX. UBER Black tentu tarifnya lebih mahal dari UBERX, namun armadanya adalah armada UBERX. Tapi tidak masalah karena sudah cukup nyaman. Dulu saya kira Uber Black berarti pakai mobil berwarna hitam hehehe... Taunya itu pembeda kelas kendaraan, yg premium dan ekonomis.

Kesan tentang UBER dari para supir sembilan puluh lima persen [kira-kira saja] menyatakan senang dengan masuknya UBER dan sangat membantu mereka. Apalagi dengan mekanisme insentif yang beragam yang ditawarkan UBER kepada para supir mulai dari nilai pengali mencapai 2,5 kali pendapatan hingga yg berlaku sekarang jaminan pendapatan per jam sebesar sekitar tiga puluh ribuan jika tidak mendapat penumpang dalam waktu sejam online.

Namun sayang menurut para supir, masih sedikit penumpang UBER Bali yang merupakan penduduk Bali. Kebanyakan didominasi oleh pendatang dan pelancong. UBER belum menjadi andalan penduduk Bali untuk transportasi "point to point". Ini karena jarak antara tempat yang tidak jauh dan kebiasaan masyarakat menggunakan sepeda motor yang lebih praktis. Disamping itu keberadaan armada yang masih terpusat di beberapa tempat, pembayaran yang menggunakan kartu kredit serta informasi yang terbatas masih menjadi halangan untuk menggunakan moda yg praktis ini.

Tentang supir, pengalaman saya, mereka sangat baik dan ramah. Bahkan ada yang lebih ramah dari supir taksi burung biru. Namun, status supir menentukan motivasi mereka. Biasanya supir yang menggunakan mobil pribadinya sendiri lebih responsif ketimbang supir yang bekerja di perusahaan penyewaan yang menjalin kontrak dengan UBER. 

Silahkan anda mencoba dan menilai sendiri. Pro-kontra pasti ada dan mudah-mudahan akan ada jalan keluarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun