Informasi “setengah matang” ini menjadi salah satu jenis informasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Informasi tersebut terdapat tambahan informasi yang tentunya belum benar dan terkadang dilebih-lebihkan.
Jenis informasi diatas menjadi hal yang terindikasi hoaks. Hal ini mendorong masyarakat semakin tidak mudah menemukan berita yang benar.
Peristiwa ini diperkuat oleh hasil survei Mastel (2017). Terdapat survei yang menunjukan bahwa dari 1.146 responden 44,3% menerimanya setiap hari.
Mastel juga meneliti saluran yang banyak digunakan dalam penyebaran hoaks. Hasil menunjukan media online menjadi tempat penyebaran hoaks. Media online yang paling banyak berasal dari web, aplikasi chatting yang diikuti media sosial. Dari hasil survei itu media sosial merupakan media dengan persentase terbesar.
Hasil survei yang dilakukan oleh Mastel menunjukan bahwa hoaks menerpa setengah responden. Media sosial menjadi hal yang menyebarkan hoaks. Hal ini menjadi sangat meresahkan, apalagi informasi ini memicu perpecahan.
Penanganan dan Pencegahan
Penyalahgunaan media sosial sebagai media penyebaran hoaks menjadi hal yang sangat disayangkan. Untuk itu kita perlu tahu bagaimana cara mencegah dan menanganinya.
Terdapat 3 hal untuk mengatasi hoaks khususnya dalam media sosial. Dalam pelaksanaannya ketiga hal ini melibatkan berbagai pihak, pemerintah (penegakan hukum), penyelenggara, serta masyarakat.
Untuk mengatasi hoaks itu diawali oleh penegakan hukum yang melibatkan pemerintah. Penegakan ini dilakukan dengan menerapkan hukum yang ada, Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik serta KUHP.
Langkah berikutnya melibatkan pihak penyelenggara. Dalam hal ini penyelenggara media sosial bersama pemerintah untuk berpartisipasi melawan hoaks.
Langkah selanjutnya adalah untuk mengedukasi masyarakat. Masyarakat perlu tahu jika menemukan hoaks untuk segera melaporkannya melalui aduankonten@mail.kominfo.go.id. Gerakan untuk mengedukasi masyarakat juga dilakukan oleh Gerakan Masyarakat Indonesia Anti Hoax.