Pagi hari belakangan ini terasa begitu menggigit. Udara dingin menyusup perlahan dari sela-sela dedaunan, menembus hingga ke tulang. Langit biru cerah tanpa mendung, malam berbintang seperti karpet langit yang dibentangkan dengan tenang.
Di kampung, saya mengelanya sebagai musim beidding atau bedhidhing (pengucapan "mbedhidhing")---saat tubuh diuji antara tetap berselimut atau bergerak menantang udara dingin.
Dalam suasana bediding seperti sekarang, saya jadi lupa waktu. Aktivitas terasa lebih panjang, dan istirahat bisa ditunda tanpa keluhan.
Di tengah barisan pohon pisang yang rindang, saya dan istrai bekerja sambil berbincang. Kadang diselingi tawa kecil, kadang diam saja menikmati desir angin dan aroma tanah basah. Tak ada bunyi mesin, hanya suara langkah dan dedaunan yang bergesekan. Sesekali, camilan sederhana seperti pisang goreng atau rebusan singkong jadi teman setia. Dan tentu saja, secangkir kopi panas terasa lebih nikmat dari biasanya---seperti peluk hangat di tengah udara tipis pegunungan.
Musim bedhidhing tak membuat saya. Justru ia menjadi momen terbaik untuk berkegiatan. Karena saat alam menurunkan suhu, semangat dalam diri terasa justru meningkat. Dalam diam yang dingin, produktivitas tumbuh. Dalam sunyi yang berkabut, kebersamaan dan kesadaran akan tanah yang dirawat tumbuh lebih hijau.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI