Mineral tanah jarang (rare earth elements atau REEs) telah menjadi bahan baku yang sangat dibutuhkan di berbagai industri modern, termasuk teknologi tinggi, energi terbarukan, dan pertahanan. Meskipun disebut "tanah jarang," mineral ini sebenarnya tidaklah langka di kerak bumi, namun penempatannya yang tersebar dan sulit diakses membuatnya menjadi sumber daya yang sangat berharga dan strategis. REEs terdiri dari 17 elemen, yang terbagi dalam dua kategori,  tanah jarang ringan dan berat. Masing-masing memiliki aplikasi yang sangat beragam mulai dari pembuatan magnet permanen untuk mobil listrik, turbin angin, hingga perangkat elektronik canggih seperti smartphone dan televisi layar datar.
Baca juga: BUMN dalam Transformasi Energi Global
Permintaan terhadap REEs meningkat tajam seiring dengan kemajuan teknologi, khususnya dalam sektor energi terbarukan. Misalnya, neodymium, dysprosium, dan terbium digunakan dalam pembuatan magnet yang diperlukan untuk turbin angin dan motor listrik kendaraan, yang semakin diminati seiring dengan transisi global menuju energi hijau dan kendaraan listrik. Selain itu, REEs juga memainkan peran kunci dalam pengembangan teknologi lain seperti baterai yang dapat diisi ulang, sinar-X, dan berbagai alat canggih lainnya. Dengan meningkatnya kebutuhan akan teknologi bersih dan energi terbarukan, permintaan terhadap REEs diperkirakan akan terus berkembang, mendorong negara-negara dan perusahaan untuk berlomba-lomba mengamankan pasokan bahan ini.
Namun, pasokan REEs menghadapi tantangan besar. Negara-negara penghasil utama seperti China, yang mengontrol sebagian besar produksi dan ekspor REEs global, memiliki posisi dominan di pasar. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan ketergantungan yang berlebihan pada satu negara, serta potensi gangguan dalam pasokan yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan politik atau ekonomi. Pada tahun 2010, misalnya, China memberlakukan pembatasan ekspor REEs yang menyebabkan lonjakan harga dan menimbulkan krisis pasokan jangka pendek di negara-negara lain yang bergantung pada bahan ini. Meskipun beberapa negara seperti Australia, AS, dan India mulai meningkatkan produksi REEs mereka, China masih mempertahankan dominasi yang signifikan dalam rantai pasokan global.
Selain itu, produksi REEs juga menimbulkan masalah lingkungan yang signifikan. Proses ekstraksi dan pemurnian REEs sangat intensif dalam hal energi dan air, serta menghasilkan limbah yang dapat mencemari tanah dan air jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, ada dorongan kuat untuk mengeksplorasi metode daur ulang REEs dari barang-barang elektronik bekas atau limbah industri. Â Meskipun menjanjikan, daur ulang ini masih menghadapi tantangan dalam hal efisiensi dan biaya.
Kesadaran akan pentingnya REEs semakin berkembang di kalangan pembuat kebijakan dan industri, yang mendorong pengembangan kebijakan untuk memastikan pasokan yang stabil dan berkelanjutan. Oleh karena itu, penelitian dan inovasi dalam hal substitusi REEs, daur ulang, dan pencarian sumber daya alternatif menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa permintaan terhadap mineral kritis ini dapat dipenuhi tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar terhadap lingkungan dan ketergantungan geopolitik yang berisiko.
Bibliografi:
Filho, W.L.; Kotter, R.; Özuyar, P.G.; Abubakar, I.R.; Eustachio, J.H.P.P.; Matandirotya, N.R. Understanding Rare Earth Elements as Critical Raw Materials. Sustainability 2023, 15, 1919. https://doi.org/10.3390/su15031919:contentReference[oaicite:0]{index=0}.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI