Ada satu prinsip klasik dalam Akuntansi yang tampak sederhana namun berdampak besar, yaitu konservatisme. Prinsip ini mendorong perusahaan untuk tidak mengakui pendapatan sebelum waktunya dan segera mengakui kerugian ketika ada tanda-tanda kerugian tersebut mungkin terjadi. Tujuannya? Untuk melindungi para pemangku kepentingan—terutama investor dan kreditur—dari risiko optimisme berlebihan manajemen. Namun, apa jadinya jika perusahaan merasa bahwa kerugian bukanlah masalah besar, karena mereka dilindungi oleh status istimewa sebagai "milik negara"?
Pertanyaan inilah yang dijawab oleh Chen, Chen, Lobo, dan Wang dalam riset penting mereka tahun 2010. Mereka meneliti ratusan perusahaan yang terdaftar di bursa saham Tiongkok, dan menemukan bahwa:
Perusahaan milik negara cenderung kurang konservatif dalam menyusun laporan keuangan dibandingkan perusahaan swasta. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa jika situasi keuangan memburuk, mereka tetap bisa mengandalkan bank milik negara untuk menyuntikkan dana, atau bahkan mendapatkan perlakuan lunak dari regulator.
Singkatnya, mereka merasa “terlindungi.”
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa perusahaan non-milik negara justru menunjukkan perilaku akuntansi yang lebih hati-hati. Karena mereka tak punya “payung perlindungan” yang sama, mereka terdorong untuk menjaga kepercayaan pasar dan kreditur dengan menyajikan laporan keuangan yang lebih konservatif. Dalam konteks ini, konservatisme bukan hanya teknik akuntansi, tetapi juga strategi reputasi.
Jika kita menarik pelajaran ini ke Indonesia, pertanyaan kritis pun muncul: apakah BUMN kita juga menunjukkan gejala yang sama? Di tengah kelemahan sistem penegakan hukum dan hubungan yang erat antara BUMN dan bank-bank milik negara, tidak mustahil bahwa praktik serupa terjadi. Ketika BUMN merasa punya privilege karena dimiliki oleh negara, dorongan untuk menampilkan kerugian secara jujur dan cepat bisa melemah. Terlebih lagi, jika budaya pengawasan internal belum sepenuhnya kuat dan independen.
Konservatisme dalam akuntansi bukan sekadar soal “main aman” secara teknis, tapi soal akuntabilitas publik. Ketika perusahaan milik negara diberi keistimewaan, namun tidak dikontrol dengan sistem pengawasan yang kuat dan independen, maka bukan hanya laporan keuangannya yang bermasalah—kepercayaan publik pun bisa tergerus. Chen dan rekan-rekannya mengingatkan kita bahwa tanpa insentif pasar dan tekanan kelembagaan, bahkan prinsip yang paling mulia pun bisa terkikis. Di sinilah refleksi penting bagi masa depan tata kelola BUMN kita. Jangan biarkan label “milik negara” menjadi tameng untuk menghindar dari transparansi dan kehati-hatian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI