Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu menempati posisi strategis dalam arsitektur pembangunan nasional.Â
Sebagai kepanjangan tangan negara untuk menjalankan mandat konstitusi Pasal 33 UUD 1945, BUMN diharapkan tidak hanya mengejar profitabilitas, tetapi juga menjalankan fungsi pelayanan publik, pemerataan pembangunan, dan penguatan kedaulatan ekonomi.
Baca juga:
- Penguatan Peran Presiden dalam BUMN, Apa Konsekuensinya? (Bag.1)
- Heboh Pasal BUMN, Mana yang Lebih Lex Specialis
- Tiga Pasal UU BUMN yang Ramai DibicarakanÂ
- Sinergi dan Risiko Hubungan Kelembagaan BUMN Pasca UU 1 Tahun2025 (Bag.2/Selesai)
- TJSL BUMN (baru), Risiko Pergeseran Filantropi ke Sustainability
- Pailit Tidak Netral, Mengapa Akuntan Harus Peduli pada UU BUMN 2025?(Bag.1) Â
Keberadaan BUMN di sektor-sektor strategis seperti energi, pangan, infrastruktur, dan keuangan, publik menaruh ekspektasi besar agar BUMN mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan.Â
Pemerintah pun menjadikan BUMN sebagai aktor utama dalam berbagai program prioritas nasional, termasuk pemulihan ekonomi pasca pandemi dan transisi energi menuju masa depan yang berkelanjutan.
Namun, di balik besarnya harapan tersebut, terdapat risiko tersembunyi yang kerap luput dari perhatian publik maupun pengambil kebijakan, yakni munculnya quasi-fiscal liabilities (QFL).Â
QFL merujuk pada kewajiban-kewajiban keuangan yang secara hukum bukan merupakan beban langsung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi berpotensi menjadi tanggungan negara akibat intervensi pemerintah terhadap BUMN tanpa kompensasi fiskal yang memadai.
Contohnya adalah ketika BUMN ditugaskan untuk menjual barang atau jasa di bawah harga keekonomian tanpa skema subsidi yang jelas, atau ketika perusahaan pelat merah menanggung kerugian karena proyek-proyek strategis nasional yang secara komersial tidak layak.Â
Bukti empiris menunjukkan bahwa pada banyak kasus, beban ini akhirnya harus ditalangi oleh negara melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN) atau bahkan bailout, sehingga menimbulkan tekanan terhadap fiskal negara.
Risiko QFL semakin besar jika tata kelola BUMN tidak disertai dengan sistem pengawasan yang kuat dan terintegrasi. Ketika terjadi asimetri informasi antara manajemen BUMN dan pemegang saham negara, risiko moral hazard tak terhindarkan.Â
Kegagalan proyek, pemborosan, dan praktik tidak akuntabel bisa terjadi karena minimnya transparansi dan lemahnya insentif untuk efisiensi. Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN menawarkan warna baru karena mencoba merespons berbagai kelemahan tata kelola sebelumnya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!