Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah lama dianggap sebagai bagian dari struktur pemerintahan. Namun, pergeseran besar kini sedang terjadi dalam cara negara mengelola BUMN. Pergeseran ini mengarah pada transformasi dari sistem pengelolaan yang terpusat dan administratif, ke sistem yang lebih mandiri dengan prinsip-prinsip korporasi. Ini bukan sekadar soal siapa yang memeriksa keuangan BUMN atau apakah mereka bagian dari keuangan negara, tetapi bagaimana tata kelola yang lebih efektif bisa tercipta untuk kemakmuran rakyat.
Baca juga:
- Eugene Fama ke Watts dan Zimmerman, Dari Pasar Sempurna ke Keputusan Ekonomi
- TJSL BUMN (baru), Risiko Pergeseran Filantropi ke Sustainability
- Â Ujian Kedaulatan Negara dalam UU 1 Tahun 2025 (BUMN)
- TJSL BUMN Pada UU 1 Tahun 2025, Terstruktur dan Berkelanjutan
- Tantangan Struktural, Kelembagaan, dan Tata Kelola dalam UU BUMN Baru
Dari Pengelola ke Pemegang Saham Strategis
Pada masa lalu, BUMN lebih dipandang sebagai entitas yang langsung dikelola oleh pemerintah. Negara berperan tidak hanya sebagai pemilik, tetapi juga sebagai pengatur utama dalam operasionalnya. Segala proses bisnis, termasuk audit dan pengawasan keuangan, dilakukan dengan ketat agar BUMN tetap berjalan sesuai dengan regulasi pemerintah dan memastikan anggaran negara digunakan dengan baik.
Namun, dengan adanya perubahan besar dalam kebijakan, negara mulai memposisikan diri tidak lagi sebagai pengelola langsung, melainkan sebagai pemegang saham strategis. Dalam model ini, negara memberikan lebih banyak kebebasan kepada BUMN untuk mengelola operasional dan pengambilan keputusan bisnis secara mandiri, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG), yang mencakup transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab.
Transformasi Pengawasan: Fokus pada Kinerja dan Dampak Ekonomi
Dengan pergeseran ini, pengawasan terhadap BUMN juga mengalami perubahan. Tidak hanya sebatas pemeriksaan administratif dan keuangan, pengawasan kini berfokus pada penilaian kinerja dan dampak ekonomi yang dihasilkan oleh BUMN. Pengawasan harus menilai apakah BUMN mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat.
Bukan lagi soal apakah laporan keuangan BUMN sesuai atau tidak, tetapi apakah bisnis tersebut berjalan dengan efisien dan berkontribusi positif pada perekonomian. Ini berarti bahwa, meskipun audit dan pengawasan tetap diperlukan, bentuk dan pendekatannya harus lebih adaptif dan berbasis pada pencapaian hasil yang nyata.
Tantangan dalam Menyeimbangkan Otonomi dan Kontrol
Pergeseran ke sistem korporasi juga membawa tantangan dalam hal keseimbangan antara otonomi BUMN dan kontrol pemerintah. Negara ingin agar BUMN dapat beroperasi dengan lebih fleksibel dan mandiri di pasar global, namun tetap harus bertanggung jawab kepada rakyat. Oleh karena itu, peran pemerintah sebagai pemegang saham strategis sangat penting untuk memastikan bahwa kekuasaannya digunakan untuk kemakmuran masyarakat, sesuai dengan amanat konstitusi.
Studi Kasus: Singapura sebagai Contoh