Ketika Mark Zuckerberg bersaksi di hadapan Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat pada pertengahan April 2025, satu pengakuan mencuat lebih tinggi dari sisanya. Â TikTok adalah ancaman yang sangat mendesak bagi Meta. Di balik pilihan kata yang diplomatis, tergambar sebuah kegelisahan mendalam---bahwa Meta, rumah besar bagi Facebook, Instagram, dan WhatsApp, mulai kehilangan daya tariknya. Kekhawatiran Zuckerberg bukan sekadar kehilangan pengguna, tetapi kehilangan makna fundamental dari apa itu "media sosial."
TikTok, yang pada awalnya dipandang sebagai aplikasi hiburan ringan, telah mengubah peta ekosistem digital global hanya dalam kurun waktu tujuh tahun. Aplikasi ini tidak membangun dirinya di atas jaringan sosial tradisional, tetapi pada algoritma yang mempelajari minat pengguna lebih cepat dari interaksi sosial apa pun. Jika Facebook dibangun di atas hubungan pertemanan dan komunitas, maka TikTok dibentuk oleh kecepatan, viralitas, dan kecanggihan kecerdasan buatan. Di platform ini, koneksi manusia digantikan oleh logika statistik dan prediksi perilaku.
Zuckerberg menyadari bahwa model relasional yang dulu mengangkat Facebook kini menjadi usang. Orang-orang tidak lagi membuka aplikasi untuk melihat kabar teman atau keluarga. Mereka datang untuk 'ditemukan' oleh konten, bukan untuk berinteraksi. Dalam sidangnya, Zuckerberg bahkan menyebut bahwa fungsi media sosial kini telah bergeser menjadi mesin penemuan (discovery engine). Media sosial tak lagi soal membangun jejaring sosial, tapi soal memberi konten yang paling mungkin membuat pengguna bertahan. Dengan kata lain, sosial menjadi sekunder, algoritma menjadi utama.
Perubahan ini tidak tanpa konsekuensi. Kemenangan TikTok tidak hanya mencerminkan keberhasilan strategi bisnis ByteDance, tetapi juga mengungkapkan perubahan nilai dalam interaksi digital manusia. Kita tengah menyaksikan saat-saat ketika media sosial kehilangan jiwanya. Alih-alih menjadi ruang pertemuan ide dan emosi, media sosial berubah menjadi pabrik konten cepat saji---menyuguhkan apa yang kita inginkan tanpa perlu tahu siapa kita sebenarnya. Semakin banyak pengguna yang merasa terhubung, namun juga semakin banyak yang merasa kesepian di tengah keramaian digital.
Meta, yang dulu menjadi pionir revolusi sosial digital, kini terjebak dalam labirin yang diciptakannya sendiri. Ketika Zuckerberg berusaha "kembali ke Facebook OG" lewat pembaruan tab Teman dan fitur-fitur interaktif baru, itu bukan hanya strategi bisnis, melainkan sinyal bahwa Meta tengah mencari jati dirinya yang hilang. Namun, apakah nostalgia cukup untuk melawan kekuatan algoritma yang sudah memikat generasi baru?
Kebangkitan TikTok mengingatkan kita bahwa teknologi tidak pernah netral. Di balik tiap desain algoritma, terdapat asumsi tentang bagaimana manusia harus berinteraksi. Saat ini, desain itu memprioritaskan ketertarikan instan, bukan keterikatan emosional; performa, bukan kedekatan. Maka ketika Zuckerberg mengaku takut, ia sebenarnya sedang meratapi dunia yang diciptakannya sendiri---dunia yang telah kehilangan esensi "sosial" dalam media sosial.
Jika kita tak berhenti sejenak untuk merefleksikan arah ini, maka bukan hanya Meta yang kehilangan relevansi, tetapi juga kita sebagai manusia yang semakin jauh dari nilai-nilai yang dulu membuat media sosial menjadi ruang yang berarti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI