Bayangkan sebuah desa di pinggiran kota, tempat dua orang bertetangga hidup dari hasil bumi. Di satu sisi, ada Petani yang dengan sabar menanam jagung di ladangnya. Di sisi lain, Peternak yang beternak beberapa ekor sapi yang gemar berkeliaran. Masalah muncul saat sapi-sapi itu tanpa sengaja masuk ke ladang Petani dan menginjak-injak tanaman yang baru tumbuh. Setiap musim tanam, Petani menderita kerugian. Lalu muncul pertanyaan, siapa yang seharusnya membangun pagar---Petani yang ingin ladangnya aman, atau Peternak yang memelihara hewan penyebab kerusakan?
Pertanyaan ini tampaknya sederhana, tapi justru menjadi ilustrasi klasik yang digunakan oleh ekonom, Ronald Coase, untuk menjelaskan bagaimana masyarakat bisa menyelesaikan konflik kepentingan secara efisien tanpa harus selalu bergantung pada aturan pemerintah. Dalam teori yang kini dikenal sebagai Coase Theorem, jawabannya bukan tentang siapa yang salah, tapi siapa yang bisa menyelesaikan masalah dengan biaya paling rendah.
Baca juga:
- Akuntansi Kalori, Cara Baru Pemerintah Mengatur Nafsu Makan Warga
- Mengapa Skandal Enron Tetap Jadi Legenda Akuntansi?
- BUMN Masih Jadi Jangkar Pasar Saham
- Global Internal Audit Standards (GIAS) dan Mitos Reformasi AuditÂ
- Bukan Penipuan, Cuma Beda Prinsip? Mengenang Kasus Mike Lynch Â
Misalnya, jika membangun pagar membutuhkan biaya Rp500 ribu dan kerugian dari kerusakan ladang mencapai Rp1 juta per musim, maka secara ekonomi, lebih efisien jika pagar itu dibangun---tak peduli siapa yang membangunnya. Jika hukum memberi hak kepada Peternak bahwa sapi bebas berkeliaran, Petani tetap akan memilih membangun pagar agar kerugiannya berhenti. Sebaliknya, jika hukum berpihak kepada Petani, Pak Sapi mungkin akan memilih membangun pagar agar tidak terus-menerus harus mengganti rugi. Dalam kedua skenario, pagar tetap dibangun. Yang berbeda hanyalah siapa yang mengeluarkan biaya.
Analogi ini bukan sekadar cerita desa. Ini adalah gambaran bagaimana sistem ekonomi dan kontrak bekerja dalam kehidupan nyata, termasuk dalam dunia akuntansi dan keuangan. Ketika perusahaan mempertimbangkan apakah harus mengungkapkan informasi keuangan kepada publik, logikanya serupa. Jika nilai informasi itu bagi investor jauh lebih besar daripada biaya penyusunannya, maka perusahaan punya insentif untuk mengungkapkannya secara sukarela---selama hak dan insentifnya jelas.
Jadi, pertanyaan "siapa yang harus bikin pagar?" bukan soal menyalahkan, tapi soal mencari solusi paling masuk akal. Dalam masyarakat yang hak milik dan insentifnya tertata rapi, pagar akan selalu dibangun oleh pihak yang paling diuntungkan dari keberadaannya. Dalam dunia yang serba kompleks, kadang kita hanya perlu kembali pada kebijaksanaan kampung: siapa yang paling masuk akal untuk bertindak, dialah yang lebih dulu bergerak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI