Sejak 6 April 2022, restoran dan bisnis makanan besar di Inggris diwajibkan mencantumkan jumlah kalori setiap hidangan dalam menu mereka. Aturan ini bukan sekadar kebijakan gizi; ini adalah bentuk intervensi negara yang sangat pribadi---masuk sampai ke piring makan kita. Apa yang disebut sebagai mandatory calorie labelling ini menjadi kebijakan unggulan pemerintah Inggris untuk merespons "krisis obesitas" yang telah lama mengemuka dalam wacana kesehatan masyarakat. Namun di balik upaya menyehatkan masyarakat ini, muncul satu pertanyaan kritis: apakah pelabelan kalori ini sekadar bentuk edukasi? Atau justru sebuah cara baru negara mengatur, bahkan mendisiplinkan, nafsu makan warganya?
Dalam kajian sosiologi kebijakan, pelabelan kalori ini tak berdiri sendiri. Ia adalah bagian dari apa yang oleh para akademisi disebut sebagai akuntansi kalori---sebuah praktik kalkulatif yang mengubah makanan menjadi angka, dan melalui angka itulah negara memberi tahu kita apa yang dianggap "baik" atau "buruk" untuk dimakan. Dengan mencantumkan kalori di samping setiap menu, negara seolah-olah membisikkan ke telinga konsumen: "Apakah kamu yakin ingin makan itu? Sudah melebihi 2000 kkal, lho."
Baca juga:
- Mengapa Skandal Enron Tetap Jadi Legenda Akuntansi?
- BUMN Masih Jadi Jangkar Pasar Saham
- Global Internal Audit Standards (GIAS) dan Mitos Reformasi AuditÂ
- Bukan Penipuan, Cuma Beda Prinsip? Mengenang Kasus Mike Lynch Â
Ini adalah bagian dari biopedagogi, konsep yang diperkenalkan dalam tradisi pemikiran Michel Foucault. Intinya, ini adalah teknik pengajaran tersembunyi---bukan lewat guru, tapi lewat label. Bukan lewat ruang kelas, tapi lewat restoran dan kafe. Konsumen diajarkan untuk menjadi warga yang sehat dengan mendisiplinkan pilihan makannya sendiri. Tidak ada larangan eksplisit, tapi semua orang tahu mana pilihan yang "diinginkan" negara dan mana yang tidak.
Yang menarik, pelabelan kalori ini juga bekerja secara dua arah. Ia tidak hanya menargetkan konsumen, tetapi juga pelaku bisnis makanan. Banyak restoran mulai merombak resep mereka agar lebih rendah kalori, bukan semata karena permintaan pasar, tapi karena tuntutan moral dan tekanan reputasi yang dibentuk oleh regulasi. Di sinilah praktik penghitungan kalori menjadi alat pemerintah untuk mengatur dari jauh---government at a distance. Negara tidak hadir secara otoriter, tetapi melekat dalam angka dan kalkulasi sehari-hari.
Namun tidak semua orang patuh. Beberapa pemilik restoran kecil mengeluhkan beban administratif. Sementara sebagian konsumen merasa bersalah saat ingin menikmati makanan "nakal" sesekali. Dalam konteks ini, kritik mulai bermunculan. Apakah tubuh manusia hanya sekadar angka? Apakah kesenangan makan harus selalu dikuantifikasi dan dinilai dari sudut efisiensi kalori?
Akuntansi kalori, pada akhirnya, membuka ruang diskusi penting: bagaimana kebijakan publik bisa menyusup begitu halus dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari. Pelabelan kalori memang bisa membantu sebagian orang membuat pilihan yang lebih sadar, tapi juga berisiko menciptakan budaya pengawasan diri yang berlebihan, bahkan patologis. Di tengah masyarakat yang semakin terobsesi dengan kontrol diri dan angka, mungkin ini saatnya kita bertanya kembali: siapa sebenarnya yang memegang kendali atas nafsu makan kita?
Sumber:
Jeacle, I., & Carter, C. (2023). Calorie accounting: The introduction of mandatory calorie labelling on menus in the UK food sector. Accounting, Organizations and Society
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI