Ada satu pemandangan yang sudah tak asing lagi setiap kali harga emas turun sedikit, antrean ibu-ibu mengular di toko emas.Â
Mulai dari pasar tradisional hingga butik-butik logam mulia yang berpendingin udara, ibu-ibu dari berbagai latar belakang tampak rela berdiri berjam-jam hanya untuk membeli beberapa gram emas batangan atau perhiasan.Â
Pertanyaannya, kenapa sih mereka lebih suka emas fisik dibandingkan emas digital yang sekarang jauh lebih praktis?
Jawabannya bisa dijelaskan lewat kombinasi antara tradisi, psikologi, dan rasa percaya. Dalam budaya banyak keluarga di Indonesia, terutama di kalangan ibu rumah tangga dan perempuan dewasa yang saya wawancarai, emas sudah lama dianggap sebagai bentuk kekayaan yang nyata dan mudah diwariskan.Â
Baca juga:
- Ratchet Mentality Birokrat dalam Prospect Theory
- Komunitas Misoginis, Ancaman Baru dari Ruang Obrolan Remaja
- Dua Gajah Bertarung, Para Pelanduk Unjuk Gigi? Â
- Rangkap Jabatan dan Kaburnya Batas Negara-Bisnis
Tidak seperti saham atau reksa dana yang lebih abstrak, emas bisa dipegang, dilihat kilaunya, bahkan dipakai ke acara keluarga.Â
Bagi ibu-ibu, emas itu bukan cuma instrumen investasi, tapi juga simbol status sosial, cadangan dana darurat, dan bahkan "tabungan masa tua" yang bisa dilihat setiap hari di kotak perhiasan.
Selain itu, ada juga unsur nostalgia dan kebanggaan. Banyak ibu-ibu yang merasa puas secara emosional saat berhasil membeli emas. Rasanya seperti pencapaian, apalagi jika hasil dari menyisihkan uang belanja harian.Â
Sensasi memegang logam mulia yang berat dan berkilau di tangan, melihat cap kadar emas 99.99 persen, atau bahkan menyimpan nota pembelian di dalam plastik khusus---semuanya memberi kepuasan yang tak bisa digantikan oleh angka digital di layar aplikasi.