Dalam dunia akademik, keberanian intelektual sering kali diuji bukan hanya di ruang kelas atau laboratorium, tetapi juga di hadapan kekuasaan. Pada April 2025, ujian itu datang dalam bentuk ultimatum dari pemerintahan Presiden Donald Trump kepada Harvard University. Pemerintah federal mengajukan serangkaian tuntutan kepada kampus tersebut, mulai dari kewajiban melaporkan mahasiswa asing yang melakukan pelanggaran kode etik hingga memaksakan reformasi dalam sistem perekrutan staf akademik. Harvard, yang selama ini dikenal sebagai institusi pendidikan tertua dan terkaya di Amerika Serikat, memilih untuk menolak mentah-mentah tuntutan tersebut---sekalipun harus kehilangan dana riset dan kontrak senilai lebih dari 2 miliar dolar AS.
Langkah pemerintah ini merupakan bagian dari kampanye yang lebih luas untuk menertibkan universitas-universitas yang dianggap tidak cukup "patriotik" atau terlalu liberal. Di bawah tajuk "Campus Crackdown," administrasi Trump jilid II mencoba merombak relasi antara negara dan lembaga pendidikan tinggi, dengan cara-cara yang oleh banyak pengamat dianggap melanggar batas kewenangan negara dalam urusan akademik. Permintaan agar kampus melaporkan perilaku mahasiswa kepada aparat federal, khususnya mahasiswa internasional, membuka kembali luka lama soal pengawasan politik dan diskriminasi, yang pernah terjadi di era McCarthy pada 1950-an.
Sikap Harvard kali ini mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, dalam beberapa bulan terakhir, universitas ini sempat dikritik karena dianggap terlalu lunak terhadap tekanan politik dari Washington. Namun peristiwa pada 14 April itu menjadi titik balik. Harvard menyatakan bahwa tuntutan pemerintah tidak hanya tidak sah secara hukum, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai dasar pendidikan tinggi: kebebasan akademik, perlindungan data pribadi, dan nondiskriminasi. Dalam pernyataannya, Harvard tidak hanya menolak tunduk, tetapi juga menantang logika kekuasaan yang ingin menjadikan kampus sebagai perpanjangan tangan negara.
Apa yang dilakukan Harvard bukanlah sekadar pembelaan institusional, melainkan pernyataan prinsipil bahwa ilmu pengetahuan harus merdeka dari tekanan kekuasaan. Ketika kampus diminta untuk memata-matai mahasiswanya sendiri, atau menyaring pengajar atas dasar pandangan politik, maka kita tidak lagi bicara soal pengelolaan pendidikan---kita bicara soal pembungkaman pengetahuan. Di sinilah titik rawan demokrasi dimulai.
Bagi kita di Indonesia, peristiwa ini seharusnya tidak dianggap sebagai drama Amerika semata. Ini adalah cermin. Di tengah euforia transformasi digital dan pembangunan kampus pintar, kita perlu bertanya: apakah kebebasan berpikir dan bersuara di ruang akademik benar-benar dilindungi? Apakah kampus-kampus kita memiliki keberanian yang sama seperti Harvard, untuk berkata "tidak" kepada intervensi yang melampaui batas? Ataukah kampus justru telah terlalu akrab dengan kekuasaan, menjelma menjadi lembaga yang lebih sibuk mengamankan proyek daripada menjaga integritas ilmu?
Harvard telah membayar mahal untuk mempertahankan prinsipnya. Tapi dari peristiwa itu, kita belajar bahwa keberanian intelektual---seperti juga demokrasi---selalu datang dengan harga. Dan harga itu harus dibayar bukan hanya oleh satu kampus di Amerika, tetapi oleh siapa pun yang masih percaya bahwa ilmu adalah untuk pembebasan, bukan untuk penundukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI