Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dua Gajah Bertarung, Para Pelanduk Unjuk Gigi?

12 April 2025   08:40 Diperbarui: 12 April 2025   14:14 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gajah Bertarung dikelilingi Pelanduk-Pelanduk | Dok. Pribadi

Di tengah pusaran geopolitik global, satu pertanyaan mengemuka: apa yang terjadi ketika dua gajah bertarung? Biasanya, pelanduk yang jadi korban. Tapi di Asia Tenggara hari ini, ada cerita berbeda. 

Ketika dua gajah---Amerika Serikat dan Tiongkok---terlibat dalam perang dagang, fragmentasi rantai pasok, dan perlombaan supremasi teknologi, negara-negara kecil di kawasan ini justru perlu unjuk gigi. Mereka seharusnya tak lagi pasif menanti limpahan berkah dari globalisasi, melainkan aktif merebut peluang di celah-celah ketegangan tersebut. Inilah momen langka ketika pelanduk bisa menari di antara dentuman kaki gajah-gajah.

Kawasan ASEAN sesungguhnya berada dalam posisi strategis. Lokasinya di jantung Indo-Pasifik, kedekatannya dengan pusat-pusat manufaktur dunia, serta jumlah populasi dan kelas menengah yang terus tumbuh menjadikannya pusat gravitasi baru dalam geoekonomi global. 

Ketika banyak perusahaan multinasional mulai menerapkan strategi China+1---yakni mendiversifikasi produksi dari Tiongkok ke negara lain---ASEAN tampil sebagai pilihan utama. 

Vietnam, Indonesia, dan Thailand menjadi magnet baru investasi di bidang elektronik, otomotif, bahkan teknologi digital. ASEAN juga berhasil menavigasi kepentingan geopolitik dua raksasa dunia, ikut serta dalam RCEP yang digagas Tiongkok, sekaligus menyambut inisiatif Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) dari Amerika Serikat.

Namun, di balik peluang tersebut, kita tak bisa menutup mata dari kenyataan yang lebih suram. Hingga kini, peningkatan ekonomi di sebagian negara ASEAN belum menjelma menjadi kesejahteraan kawasan secara menyeluruh. Ketimpangan tetap tinggi. Negara seperti Laos, Myanmar, dan bahkan Filipina masih tertinggal dalam hal infrastruktur, teknologi, dan kualitas institusi. 

Transfer teknologi antarnegara ASEAN nyaris tak terjadi. Tidak ada jaminan bahwa relokasi industri akan membawa peningkatan produktivitas domestik, apalagi keadilan sosial. Bahkan bisa jadi, kawasan ini hanya menjadi ladang perburuhan murah baru tanpa membangun fondasi kemandirian jangka panjang.

Oleh karena itu, ASEAN tidak bisa hanya mengandalkan mekanisme pasar bebas dan diplomasi dagang yang reaktif. Diperlukan strategi kolektif sebagai kawasan. 

Pertama, negara-negara ASEAN harus menyepakati peta jalan bersama untuk membangun integrasi ekonomi yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil. 

Kedua, dibutuhkan investasi bersama di bidang infrastruktur digital, pendidikan vokasi, dan konektivitas logistik lintas negara. 

Ketiga, ASEAN harus berani meninggalkan logika kompetisi satu sama lain dalam menarik investasi asing, dan mulai membangun solidaritas kawasan yang berbasis shared prosperity. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun