"Di banyak negara, 1% orang terkaya membayar pajak lebih sedikit---secara proporsional---daripada 50% warga termiskin." Kalimat ini bukan berasal dari aktivis jalanan, melainkan dari Thomas Piketty, seorang ekonom Prancis yang kini menjadi ikon dalam perdebatan global soal ketimpangan. Lewat karya monumentalnya Capital in the Twenty-First Century (2014), Piketty mengguncang asumsi lama bahwa pasar bebas akan membawa keadilan, dan bahwa sistem pajak modern secara otomatis akan memperkecil kesenjangan. Justru sebaliknya, menurut Piketty, sistem perpajakan yang berlaku di banyak negara---termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia---telah menjadi instrumen yang memperkuat ketimpangan dan mengamankan posisi elite ekonomi.
Dalam praktiknya, sistem pajak kita tidak benar-benar progresif. Memang ada tarif progresif dalam UU Pajak Penghasilan, tetapi dalam struktur penerimaan negara, lebih dari 40% masih bergantung pada pajak konsumsi seperti PPN. Pajak ini dibayar oleh semua orang, terlepas dari berapa pun pendapatannya. Bagi mereka yang hidup pas-pasan, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk membeli kebutuhan pokok juga mengandung pungutan pajak. Sementara itu, orang kaya tidak hanya menikmati penghasilan yang jauh lebih besar, tetapi juga memiliki akses terhadap perencana pajak, celah hukum, dan mekanisme penghindaran pajak yang sah secara legal tapi bermasalah secara etika.
Bayangkan dua orang berada di kasir swalayan. Yang satu seorang buruh dengan penghasilan harian, yang membeli beras, minyak goreng, dan mi instan. Yang lain adalah seorang milyarder yang kebetulan mampir membeli botol wine impor. Keduanya sama-sama membayar PPN 11%. Bedanya, bagi si buruh, PPN itu adalah potongan dari uang makan anaknya minggu depan. Bagi si milyarder, pajak itu nyaris tak berarti---ia bahkan mungkin tidak sadar jumlahnya karena manajer pribadinya yang akan memverifikasi semua tagihan bulanan. Ironisnya, milyarder itu mungkin tidak membayar pajak penghasilan di dalam negeri karena kekayaannya disimpan dalam bentuk saham luar negeri atau diatur lewat trust fund di yurisdiksi bebas pajak.
Piketty menyebut ini sebagai "politik pajak yang dikendalikan elite". Dalam bukunya yang lebih lanjut, Capital and Ideology (2020), ia menunjukkan bahwa sistem perpajakan tidak pernah netral. Ia dibentuk oleh sejarah politik, kekuasaan ideologis, dan negosiasi kelas sosial. Alasan mengapa pajak kekayaan hampir tidak pernah dibahas secara serius, atau mengapa pajak warisan dianggap tabu, bukan karena tidak mungkin dilakukan, tetapi karena tidak ada kemauan politik. Narasi yang dominan justru menakut-nakuti publik bahwa menaikkan pajak orang kaya akan membuat mereka hengkang dan menghancurkan ekonomi.Â
Piketty mengajak kita berhenti memperlakukan pajak sebagai urusan teknokratis belaka. Pajak bukan sekadar soal angka atau kepatuhan administratif. Pajak adalah ekspresi dari kesepakatan sosial, siapa yang bertanggung jawab membiayai negara, dan siapa yang selama ini diistimewakan oleh sistem. Jika sistem perpajakan hanya membebani rakyat kecil, sementara kekayaan besar bisa lolos melalui berbagai "jurus legal", maka keadilan fiskal hanyalah mitos.
Daftar Pustaka
Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Piketty, T. (2020). Capital and ideology (A. Goldhammer, Trans.). Harvard University Press.
Saez, E., & Zucman, G. (2019). The triumph of injustice: How the rich dodge taxes and how to make them pay. W. W. Norton & Company.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI