Pada Selasa, 8 April 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) resmi ditutup di level 5.996, sebuah angka psikologis yang membuat banyak pelaku pasar terdiam. Ini bukan sekadar koreksi teknikal. Ini adalah penurunan drastis sebesar 7,9% hanya dalam waktu delapan hari perdagangan sejak tanggal 27 Maret 2025, ketika IHSG masih bercokol di angka 6.510. Di mata banyak investor, ini seperti menonton pasar kehabisan pijakan.
Apa yang sebenarnya terjadi? Sejumlah faktor dapat dibaca dari data harian Bursa Efek Indonesia. Volume dan frekuensi transaksi justru meningkat drastis---volume melonjak 61%, nilai transaksi nyaris dua kali lipat, dan frekuensi melonjak 52%. Artinya, pasar sedang ramai, tetapi didominasi oleh aksi jual. Dan yang paling kentara: investor asing hengkang. Net sell asing pada 8 April mencapai Rp3,87 triliun hanya dalam sehari, menjadikan total arus keluar sepanjang tahun ini menembus Rp33,8 triliun.
Arah keluar dana asing biasanya bukan kebetulan. Bisa jadi ada penyesuaian portofolio global terhadap sentimen suku bunga The Fed, kekhawatiran geopolitik, atau bahkan risiko domestik yang belum sepenuhnya dibuka ke publik. Satu hal yang pasti: ketika pemodal besar angkat kaki, pasar ritel sering jadi korban terakhir.
Yang lebih mengkhawatirkan, penurunan IHSG ini dipimpin oleh saham-saham unggulan. BBCA, BBRI, dan BMRI---tiga emiten yang menjadi tulang punggung indeks---mengalami koreksi dua digit hanya dalam waktu sepekan. Penurunan harga saham-saham ini bukan hanya menekan indeks, tetapi juga menyentuh rasa aman investor jangka panjang.
Tentu saja, ada suara-suara yang mengatakan bahwa ini adalah "diskon besar-besaran". Valuasi pasar memang berubah. Price to Earnings Ratio (PER) pasar naik ke 11,81 kali, sedangkan Price to Book Value (PBV) justru turun ke 1,71 kali. Tapi peningkatan PER dalam kondisi pasar turun bisa juga dibaca sebagai penurunan laba perusahaan---bukan hal yang menggembirakan.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan utamanya bukan apakah pasar akan pulih. Cepat atau lambat, indeks akan bergerak kembali naik. Pertanyaannya adalah: apa yang akan membentuk ulang kepercayaan pasar? Apakah bank sentral akan memberikan sinyal akomodatif? Apakah pemerintah akan memberi insentif sektor riil? Atau mungkinkah hanya waktu dan jeda yang dibutuhkan agar investor berani kembali menaruh modal?
IHSG yang jatuh ke bawah angka 6.000 bukan sekadar penurunan angka. Ini adalah refleksi dari tekanan sistemik dan psikologis yang sedang dialami oleh pasar. Kita bisa saja menyebutnya gejala biasa. Namun bagi mereka yang portofolionya terpangkas puluhan persen, ini jauh dari biasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI