Bayangkan Anda tidur nyenyak di rumah senilai triliunan, dan saat bangun pagi, Anda baru saja kehilangan puluhan miliar dolar. Bukan karena bisnis bangkrut, bukan karena skandal pribadi, tetapi semata karena satu pidato. Itulah yang terjadi pada para miliarder dunia setelah Donald Trump mengumumkan tarif impor besar-besaran dalam pidato yang ia sebut sebagai "Hari Pembebasan."
Pasar bereaksi tidak dengan tepuk tangan, tapi dengan kepanikan. Dalam dua hari saja, kekayaan kolektif dari 500 orang terkaya di dunia menyusut lebih dari 536 miliar dolar. Ini bukan hanya angka. Ini adalah kekayaan riil yang hilang dari layar-layar Bloomberg dan bursa saham, dari laporan keuangan dan portofolio pribadi.
Elon Musk adalah yang paling terpukul. Saham Tesla yang sudah rapuh akibat kontroversi kepemimpinannya jatuh bebas, menghapus 31 miliar dolar dari kekayaannya dalam 48 jam. Bahkan SpaceX, yang selama ini jadi cadangan kekuatan finansialnya, kini lebih bernilai dibandingkan Tesla. Meski ia masih menyandang gelar orang terkaya di dunia, nilainya menyusut 130 miliar dolar hanya dalam beberapa bulan terakhir.
Mark Zuckerberg juga tidak luput. Meta, induk perusahaan Facebook dan Instagram, kehilangan hampir 14 persen nilai pasar dalam dua hari. Kekayaan pribadi Zuckerberg terkikis lebih dari 27 miliar dolar. Jeff Bezos pun serupa. Ketergantungan Amazon terhadap barang-barang dari Asia membuat sahamnya ikut limbung. Hasilnya: 23,5 miliar dolar hilang hanya karena perubahan kebijakan dagang yang ekstrem.
Bernard Arnault, raja barang mewah Eropa, turut terjerembab. Dengan LVMH bergantung pada pasar Asia dan manufaktur global, kebijakan tarif Trump menyerang langsung jantung model bisnisnya. Arnault kehilangan 11 miliar dolar dalam dua hari. Dan ironisnya, sebagian dari para taipan ini adalah pendukung atau teman lama Trump, yang hadir dalam pelantikannya, menyatakan kekaguman, bahkan membentuk kebijakan perusahaan sesuai arah angin Gedung Putih.
Tapi pasar tidak mengenal loyalitas. Pasar hanya mengenal ekspektasi dan reaksi. Bahkan Warren Buffett, investor paling tenang sedunia, tak luput dari penurunan meskipun masih mencatatkan pertumbuhan kekayaan tahunan. Yang membedakan Buffett mungkin adalah strateginya yang tidak terlalu tergantung pada teknologi dan global supply chain yang rapuh terhadap gejolak geopolitik.
Fenomena ini memberi pelajaran penting bahwa kekayaan, terutama yang ditanamkan dalam bentuk ekuitas, bisa luar biasa fluktuatif. Nilainya bisa melejit oleh kepercayaan dan ambruk oleh satu kalimat dari pemimpin negara. Kekayaan para miliarder ini memang masih di angka yang mustahil bagi kebanyakan orang, tetapi kerentanannya menunjukkan bahwa dalam sistem kapitalisme finansial modern, tak ada yang benar-benar aman.
Mereka yang mengira bahwa dekat dengan kekuasaan akan memberikan perlindungan justru lupa bahwa pasar sering kali lebih brutal daripada politik. Pasar tak berempati, hanya bereaksi.
Akhirnya, pidato yang dimaksudkan untuk menunjukkan kekuatan nasional justru memperlihatkan kerapuhan para raksasa ekonomi. Anjloknya kekayaan memang relatif, tapi dalam dunia miliarder, kehilangan puluhan miliar hanya karena satu pidato adalah pengingat bahwa kekuasaan tak bisa membeli stabilitas. Bahkan kekayaan pun bisa ambyar hanya karena suara dari podium.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI