Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Netral Tapi Tak Bisu, Menerka Objektivitas Komisi Dagang dalam Politik Tarif Trump

6 April 2025   06:50 Diperbarui: 6 April 2025   06:50 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
against-discrimination (Ilustrasi) Image by pressfoto on Freepik 

Dalam gejolak perang dagang dan kebijakan proteksionis yang mengemuka di Amerika Serikat sejak era pemerintahan Trump, satu lembaga federal justru nyaris tak terdengar gaungnya di ruang publik, yaitu United States International Trade Commission (USITC). Padahal, lembaga ini memainkan peran krusial dalam sistem perdagangan Amerika. Ketika tarif demi tarif diberlakukan secara sepihak atas nama keamanan nasional atau praktik tidak adil dari mitra dagang, banyak pengamat bertanya-tanya: di manakah posisi USITC? Apakah diamnya mereka mencerminkan ketidakpedulian, atau justru bentuk paling murni dari objektivitas lembaga negara?

Secara institusional, USITC adalah lembaga independen yang beroperasi di luar lingkup eksekutif, dengan fungsi utama sebagai penyelidik teknis dan penyedia informasi berbasis data untuk Kongres dan Presiden. Komposisi kepemimpinannya dirancang agar seimbang secara politik: enam komisaris yang ditunjuk oleh Presiden, dengan batas maksimal tiga dari partai politik yang sama. Mandat utama USITC bukanlah menetapkan kebijakan perdagangan, melainkan menyelidiki apakah industri dalam negeri dirugikan oleh praktik perdagangan luar negeri yang tidak adil---seperti dumping, subsidi, atau pelanggaran hak kekayaan intelektual---dan merekomendasikan langkah-langkah korektif berdasarkan hukum.

Dalam pengertian ini, objektivitas USITC bukanlah abstain dari realitas, melainkan kesetiaan terhadap prosedur. Lembaga ini tidak merespons isu berdasarkan opini, tekanan politik, atau gelombang opini publik, melainkan berdasarkan adanya petisi formal, permintaan investigasi dari lembaga legislatif atau eksekutif, dan serangkaian uji dampak berbasis data. Maka, ketika tarif diberlakukan secara sepihak oleh Presiden Trump, USITC tidak secara aktif menyatakan dukungan maupun penolakan. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena tidak diminta untuk menilai.

Banyak yang menyangka bahwa diamnya USITC berarti ketidakberpihakan yang pasif. Namun justru di sinilah kompleksitasnya. USITC tidak diam sepenuhnya; mereka tetap menerbitkan laporan-laporan teknis, termasuk studi mengenai dampak jangka panjang tarif terhadap sektor industri tertentu, neraca perdagangan, dan kesejahteraan konsumen. Tetapi karena fungsi mereka bukan sebagai aktor pembuat kebijakan atau oposisi kebijakan eksekutif, laporan-laporan tersebut tidak bersifat advokatif, dan tidak menjadi alat politik untuk melawan keputusan pemerintah. Dalam ilmu kebijakan publik, ini disebut sebagai bentuk netralitas prosedural---yaitu netral dalam metode, bukan dalam dampak.

Dalam tradisi administrasi publik Amerika, lembaga seperti USITC disebut sebagai "epistemic institution"---lembaga yang dijaga agar tetap independen demi menyediakan informasi yang sahih kepada pembuat kebijakan. Namun independensi ini justru datang bersama batasan: mereka tidak diberi ruang untuk secara aktif mengoreksi kebijakan eksekutif jika tidak diminta. Inilah yang oleh David Carpenter sebut sebagai "bureaucratic autonomy within constraint"---sebuah otonomi birokratik yang dibatasi oleh desain politik institusional.

Pertanyaannya kemudian: apakah netralitas semacam ini cukup dalam konteks perang dagang global dan kebijakan yang berdampak besar terhadap industri domestik? Ketika petani kedelai di Midwest merugi akibat retaliasi China, dan industri manufaktur menghadapi kenaikan harga baja dan aluminium, tak ada intervensi langsung dari USITC. Kritik pun bermunculan: apakah lembaga ini terlalu pasif? Ataukah publik salah memahami peran mereka?

Jawaban yang lebih adil barangkali ada di tengah-tengah. USITC bukan lembaga pembuat kebijakan, dan memang tidak ditugaskan untuk mengintervensi kebijakan yang tidak melalui mereka. Namun mereka juga bukan lembaga yang tak bersuara. Diam mereka bukanlah keengganan untuk berbicara, melainkan konsistensi terhadap prosedur dan mandat yang sah. Dalam dunia di mana lembaga teknokratik sering diseret ke dalam pusaran politik, posisi ini justru menunjukkan keteguhan mereka dalam menjaga integritas epistemik.

Untuk konteks Indonesia, pembelajaran dari USITC sangat relevan. Ketika kita bicara tentang netralitas lembaga teknis seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), atau bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sering kali publik berharap mereka bersuara lantang terhadap kebijakan yang bermasalah. Namun seperti USITC, banyak dari lembaga ini hanya bisa seobyektif ruang lingkup mandat hukum yang diberikan kepada mereka. Objektivitas bukan soal berani atau tidak, tetapi tentang tahu kapan berbicara dan dalam kapasitas apa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun