Pada tahun 2001, George Akerlof dianugerahi Hadiah Nobel bidang Ilmu Ekonomi karena sebuah ide sederhana yang mengubah cara kita memahami pasar: informasi tidak pernah merata. Dalam makalah terkenalnya The Market for Lemons (1970), Akerlof menjelaskan bagaimana ketimpangan informasi---di mana penjual tahu lebih banyak daripada pembeli---dapat menyebabkan pasar gagal berfungsi. Ketika pembeli tidak dapat membedakan antara produk berkualitas dan produk bermasalah, mereka cenderung menawarkan harga rata-rata, memicu keluarnya penjual jujur, dan pada akhirnya meninggalkan pasar hanya diisi oleh "lemons": barang bermutu rendah.
Kendati Akerlof berbicara tentang mobil bekas, teori tersebut menjangkau jauh ke dalam sistem birokrasi dan pemerintahan. Dalam tata kelola publik, relasi antara negara dan warga juga diliputi oleh asimetri informasi. Pemerintah mengetahui lebih banyak tentang anggaran, proses pengadaan, dan capaian kinerja, sementara masyarakat sebagai pihak yang dikuasakan sering kali hanya melihat data permukaan atau laporan yang sudah disunting. Situasi ini menciptakan ketidakpastian publik terhadap kualitas pelayanan, membuka celah terhadap manipulasi informasi, dan pada titik tertentu melemahkan kepercayaan terhadap institusi negara.
Dalam konteks inilah, pengawasan publik seharusnya dibayangkan ulang melalui lensa Akerlof. Pengawasan tidak cukup hanya menekankan kepatuhan administratif atau kepatuhan terhadap aturan formal. Ia harus menjadi mekanisme aktif untuk merestorasi ketimpangan informasi antara birokrasi dan publik. Kita membutuhkan bentuk pengawasan yang bukan sekadar menghitung, tetapi memahami; bukan hanya mengaudit prosedur, tetapi mengungkap substansi. Dalam semangat Akerlof, pengawasan adalah strategi untuk mencegah keluarnya "barang baik" dari sistem pemerintahan.
Apa yang dapat disebut sebagai "pengawasan Akerlofian" adalah pendekatan yang menyadari bahwa informasi adalah barang langka dan strategis dalam relasi kuasa antara negara dan warga. Oleh karena itu, sistem pengawasan harus dirancang untuk memulihkan ekuilibrium informasi. Laporan hasil audit, misalnya, seharusnya bukan hanya dibaca oleh pejabat atau teknokrat, melainkan harus disampaikan dalam bentuk yang dapat dimengerti dan diakses publik. Proses klarifikasi dan konfirmasi tidak boleh menjadi ruang gelap yang menegosiasikan kebenaran, melainkan harus terbuka terhadap uji publik dan deliberasi kolektif.
Dalam praktiknya, pengawasan Akerlofian mendorong lembaga pengawas seperti BPK atau Inspektorat daerah untuk lebih aktif dalam memproduksi narasi yang informatif, bukan hanya data yang teknis. Misalnya, ketika suatu program pendidikan unggulan tidak mencapai target, laporan pengawasan tidak cukup menyebutkan deviasi serapan anggaran. Ia harus menjelaskan konteks sosial, hambatan implementasi, dan dampak nyata bagi masyarakat. Dengan demikian, pengawasan tidak hanya menjadi alat teknokratik, tetapi juga instrumen demokratisasi pengetahuan.
Asimetri informasi dalam birokrasi bukan hanya soal ketersediaan data, melainkan juga soal bahasa, akses, dan struktur relasi. Pengawasan yang hanya fokus pada hasil temuan---baik dalam bentuk rekomendasi atau indeks risiko---berisiko memperkuat tembok pemisah antara negara dan warga. Sebaliknya, pendekatan Akerlofian mengajak kita untuk melihat pengawasan sebagai bentuk komunikasi yang menyeimbangkan ruang tahu dan ruang dengar antara pemerintah dan publik. Ia bukan hanya tentang siapa yang salah, tetapi siapa yang tidak tahu dan tidak diberi tahu.
Membangun pengawasan Akerlofian berarti mendesain ulang fungsi kontrol menjadi fungsi pembelajaran kolektif. Dalam paradigma ini, temuan bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga sinyal sistemik bahwa informasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengawasan tidak lagi menjadi arena pemberian sanksi semata, tetapi juga laboratorium pembelajaran bagi semua pihak---dari birokrat hingga warga desa. Dengan begitu, kepercayaan publik tidak dibangun di atas kepatuhan kosong, melainkan atas pemahaman bersama.
Karya Akerlof memberi pelajaran bahwa pasar, organisasi, dan pemerintahan hanya bisa berfungsi ketika informasi didistribusikan secara adil dan dapat diverifikasi. Dalam dunia yang semakin kompleks, pengawasan harus naik kelas dari sekadar pelaporan menuju rekonstruksi makna dan kejujuran informasi. Di tengah tuntutan efisiensi dan akuntabilitas yang semakin tinggi, mungkin sudah saatnya kita bertanya: sudahkah sistem pengawasan kita cukup Akerlofian?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI