Selama dua dekade terakhir, para psikolog kepribadian mengamati sisi gelap manusia dengan pendekatan yang lebih sistematis. Salah satu terobosan paling berpengaruh adalah konsep Dark Triad, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Delroy L. Paulhus dan Kevin M. Williams pada tahun 2002. Mereka menyatukan tiga sifat kepribadian yang sebelumnya dikaji secara terpisah: narsisisme, Machiavellianisme, dan psikopati. Ketiganya memiliki benang merah yang sama---tendensi untuk mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi---namun berbeda dalam cara dan motivasinya.
Narsisisme, misalnya, ditandai oleh rasa superioritas, kebutuhan akan kekaguman, dan kepekaan terhadap kritik. Orang dengan sifat ini sering memanipulasi demi menjaga citra diri yang tinggi. Machiavellianisme, di sisi lain, lebih bersifat strategis dan dingin: berfokus pada manipulasi yang penuh perhitungan dan pandangan bahwa tujuan menghalalkan cara. Sementara itu, psikopati berkaitan dengan impulsivitas, kurangnya empati, dan perilaku antisosial yang kadang destruktif tanpa alasan instrumental.
Namun, seiring berkembangnya penelitian, para psikolog menyadari ada satu sifat gelap lain yang belum tercakup oleh Dark Triad. Sifat ini tidak hanya mengeksploitasi, tapi secara aktif menikmati penderitaan orang lain. Inilah yang dikenal sebagai sadisme. Penambahan sadisme sebagai elemen keempat inilah yang kemudian membentuk konsep Dark Tetrad---atau bisa dikatakan secara sederhana: Dark Triad + 1 = Dark Tetrad.
Sadisme dalam konteks ini bukan hanya soal kekerasan fisik. Yang lebih mengkhawatirkan adalah bentuk sadisme sehari-hari atau everyday sadism. Misalnya, seseorang yang menikmati mempermalukan orang lain di ruang publik, atau netizen yang merasa puas saat menghancurkan reputasi seseorang secara online. Penelitian oleh Buckels, Jones, dan Paulhus pada tahun 2013 menunjukkan bahwa orang dengan skor tinggi dalam sadisme bersedia melakukan tindakan menyakitkan---seperti menyiksa serangga---tanpa ada insentif, hanya karena itu memberi rasa puas.
Mengapa penambahan sadisme ini penting? Karena tidak semua tindakan jahat bisa dijelaskan dengan motif oportunistik atau manipulatif. Ada perilaku destruktif yang dilakukan bukan karena ada keuntungan di baliknya, tetapi karena ada kepuasan emosional dalam menyakiti. Dalam konteks ini, Dark Tetrad menjadi kerangka yang lebih komprehensif untuk memahami sisi tergelap dari kepribadian manusia.
Penerapan konsep Dark Tetrad kini semakin luas. Dalam studi perilaku organisasi, misalnya, pemimpin dengan karakteristik Dark Tetrad bisa menjadi sumber kepemimpinan toksik yang merusak budaya kerja. Dalam ranah digital, pelaku cyberbullying, doxing, atau trolling sering kali menunjukkan kecenderungan sadistik yang tidak dijelaskan oleh psikopati semata. Bahkan dalam politik dan kebijakan publik, pendekatan ini membantu menjelaskan mengapa beberapa aktor tidak hanya korup, tetapi juga tampak menikmati kekacauan yang mereka timbulkan.
Dark Tetrad tidak sekadar konsep psikologi---ia adalah cermin yang memaksa kita melihat kemungkinan sisi gelap dalam diri kita sendiri maupun orang-orang di sekitar. Dalam dunia yang makin terpolarisasi dan kompetitif, mengenali pola-pola ini menjadi penting, bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami dan membangun pertahanan sosial yang lebih sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI