Pada 2 April 2025, Donald Trump berdiri di halaman Gedung Putih, diapit sembilan bendera besar dan puluhan pekerja berjaket reflektif, mengumumkan kebijakan tarif global sepihak yang ia sebut sebagai “Hari Pembebasan.” Dengan penuh keyakinan, ia menyatakan: "Ini hari paling penting dalam sejarah Amerika."
Kalimat itu bukan sekadar pernyataan. Ia adalah bagian dari wacana—cara Trump membingkai realitas, membentuk persepsi publik, dan mengklaim legitimasi politik.
Dalam analisis wacana kritis, seperti yang dikembangkan Norman Fairclough, bahasa politik bukan hanya alat komunikasi. Ia adalah arena ideologis. Dan pidato Trump adalah contoh klasik bagaimana bahasa bisa digunakan untuk mengkonstruksi identitas, musuh bersama, dan ilusi solusi sederhana atas masalah kompleks.
Siapa yang Dibebaskan?
Trump mengklaim bahwa selama puluhan tahun Amerika telah "dijarah" oleh mitra dagangnya. Kata-kata seperti looted, pillaged, bahkan raped, tidak hanya provokatif tetapi juga menciptakan narasi traumatis kolektif: bahwa bangsa adidaya ini adalah korban. Ini adalah pembalikan total dari posisi hegemonik Amerika dalam ekonomi global.
Wacana ini membentuk dua aktor utama: kita yang tertindas, dan mereka—negara lain—yang menindas. Ini adalah dikotomi moral klasik dalam politik populis: orang baik vs orang jahat, korban vs penjahat.
Tetapi siapa yang sebenarnya dibebaskan oleh kebijakan ini? Petani AS yang menggantungkan ekspor pada pasar global? Pekerja otomotif yang bergantung pada suku cadang impor? Atau elite bisnis yang akan memanfaatkan ketidakpastian ini untuk memaksimalkan profit melalui spekulasi?
Retorika Kesederhanaan di Dunia yang Kompleks
Trump menyebut kebijakannya “tarif resiprokal sederhana”. “Mereka kenakan tarif pada kita, kita balas,” katanya. Ini narasi yang mudah dicerna, bahkan menyenangkan secara emosional. Tetapi seperti disorot Fairclough, wacana seperti ini kerap menyembunyikan kompleksitas struktur ekonomi global.
Realitasnya, perdagangan internasional tidak bekerja seperti barter antara dua petani. Ia melibatkan rantai pasok lintas negara, perjanjian multilateral, dan kepentingan geopolitik yang saling silang. Tarif universal 10% bisa memicu efek domino: harga naik, inflasi meningkat, ekspor merosot, dan hubungan diplomatik memburuk.
Namun dalam dunia wacana Trump, kerumitan itu dihapus. Yang tersisa hanyalah simplifikasi heroik: “Saya, Trump, membebaskan Anda dari perbudakan global.”